Pages

pendapatan nasional

Pendapatan Nasional Sejarah Konsep pendapatan nasional pertama kali dicetuskan oleh Sir William Petty dari Inggris yang berusaha menaksir pendapatan nasional negaranya(Inggris) pada tahun 1665

Featured 2

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 3

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 4

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 5

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Wednesday 27 December 2006

Skenario mimpi pertumbuhan ekonomi

Bagaimana mencapai pertumbuhan ekonomi 6,5 persen pada tahun 2007?

Pusat Penelitian Ekonomi LIPI (Mahmud Thoha & Maxensius Tri Sambodo) punya skenarionya:
Untuk mencapai pertumbuhan sebesar itu, maka diperlukan rasio investasi terhadap PDB sekitar 30 persen. Jadi nilai PDB riil 2007 diperkirakan Rp 1.967 triliun, karena itu nilai investasi yang dibutuhkan sekitar Rp590 triliun. Padahal nilai realisasi PMDN dan PMA hingga Oktober 2006 baru mencapai Rp55 triliun

Jika dilihat dari angka-angka dalam urutan argumen Mahmud Thoha tersebut, jelas ini merupakan skenario mimpi. Katakanlah realisasi PMA dan PMDN secara keseluruhan di tahun 2006 sebesar Rp 65 triliun, maka untuk mencapai skenario pertumbuhan 2007, investasi haruslah tumbuh 808 persen. Sesuatu yang hampir mustahil terjadi dan bahkan mungkin tak layak diungkapkan.

Namun demikian, besar kemungkinan skenario mimpi ini muncul karena peneliti LIPI melupakan beberapa hal berikut:

Pertama, Investasi nominal di BKPM tidak bisa diperbandingkan dengan investasi riil di neraca PDB, harus apple to apple.

Kedua, investasi bruto yang dalam neraca PDB bukan semuanya investasi bisnis (seperti yang tercermin dari PMA dan PMDN), tetapi justru sebagian besar merupakan investasi bangunan. Fakta ini penting karena yang dibicarakan PPE-LIPI tampaknya adalah investasi bisnis.

Ketiga, investasi bisnis nominal yang tercatat di neraca PDB tidak semuanya tercatat oleh BKPM, sehingga angka investasi di BKPM jauh lebih rendah.

Wednesday 20 December 2006

Pelajaran dari Thailand

Pemerintahan Thailand memang amatiran, begitu penilaian Donald Gimbel. Itu karena tiga hari lalu, pemerintah Thailand mengunci deposito valas sebesar 30% dan harus disimpan dalam jangka satu tahun. Jika tidak, pemilik modal harus rela kehilangan sepertiga uangnya.

Saham di Thailand Stock Exchange pun rontok. Untungnya sehari kemudian, pemerintah Thailand mengecualikan kebijakannya terhadap valas untuk investasi saham. Saham memang kembali meningkat, tetapi kredibilitas pemerintahan dan Bank Sentral telah keburu anjlok. Memang amatir!

Indonesia pastinya tidak akan gegabah mengikuti kebijakan amatir seperti Thailand. Depkeu dan Bank indonesia sejak awal telah mewanti-wanti akan mempertahankan kebijakan keuangan saat ini.

Namun barangkali hal yang perlu dicontoh adalah semangat mulia di balik kebijakan amatir pemerintahan Thailand. Pertama, pemerintah Thailand ingin menghentikan apresiasi Baht karena sangat memukul eksportir. Dengan kata lain, instrumen kurs digunakan untuk menolong eksportir. Kedua, pemerintah Thailand ingin mengantisipasi volatilitas Baht dengan membatasi pembalikan modal secara spontan, yang dua tahun terakhir membanjiri Thailand .

Dua hal tersebut nampaknya masih luput dari perhatian pengambil kebijakan Indonesia. Padahal Indonesia sebenarnya serupa dengan Thailand. Rupiah setahun terakhir juga terus menguat (meski sedikit lebih rendah dari Baht) dan harusnya mengurangi daya saing ekspor. Hot money juga membanjiri Indonesia melalui investasi portfolio dan pada gilirannya mengancam stabilitas (ketika ditarik kembali).

Thursday 14 December 2006

Ekspor berjaya, siapa bintangnya

Di antara produk dengan nilai ekspor lebih dari US$ 100 juta per bulan, ekspor Karet ternyata tumbuh paling tinggi, yang kemudian disusul Besi Baja dan Batubara.

Dari 10 komoditas yang menjadi bintang ekspor, hanya satu yang merupakan produk manufaktur yaitu Kendaraan Bermotor untuk jalan raya. Selebihnya merupakan komoditi primer, yang lebih banyak meningkat karena membaiknya harga komoditi tersebut di pasar internasional.


Ekspor produk manufaktur seperti pakaian, kain tekstil, perabotan, mesin listik, dll tumbuh di bawah rata-rata.

Ini harus menjadi catatan, karena Indonesia tentu tidak bisa terus mengandalkan komoditi primer untuk membuat ekspor berjaya. Tidak selamanya harga komoditi membaik. Tidak selamanya pula komoditi primer bisa menjadi bintang.

Sunday 10 December 2006

Kemiskinan Akibat Beras?

Kemiskinan yang meningkat pada tahun 2006 ternyata sebagian besar akibat kenaikan harga beras 33%, bukan karena harga BBM 143%. BBM dinilai tidak banyak berpengaruh karena telah dikompensasi dengan program BLT. Begitu temuan Worldbank.

Benarkah?

Bagi pemerintah, temuan tersebut tentu menjadi pujian bahwa ternyata keputusan menaikkan harga BBM tahun 2005 samasekali tidak membuat masyarakat menjadi miskin. Ini sejalan dengan hasil riset LPEM-UI yang pernah menjadi kontroversi beberapa waktu lalu.

Memang agak sulit untuk mengkritik temuan Worldbank tersebut karena harus dilakukan sedikit riset tandingan. Tetapi jika kita mulai dengan melihat data historis hubungan antara harga beras dan kemiskinan di Indonesia, rasanya sulit untuk menerima kesahihan riset tersebut.














Pada Feb 2005, harga beras juga meningkat tinggi dibanding tahun sebelumnya yaitu sekitar 20 persen, tetapi kemiskinan toh menurun 0,7 persen. Padahal pertumbuhan ekonomi Feb 2005 juga relatif sama dengan Mar 2006 (bahkan lebih rendah). Kenaikan harga BBM 143% (meski setelah kompensasi BLT) justru lebih pantas dicurigai sebagai penyebab, karena kenaikan besar-besaran hanya terjadi pada tahun 2005.

Singkat kata, kenaikan harga beras memang menyebabkan kemiskinan. Tetapi apakah menjadi penyebab utama kemiskinan (mengecilkan dampak kenaikan harga BBM)? Rasanya tidak.

Sumber data: BPS & BULOG

Tuesday 5 December 2006

Konsensus Ekonomi 2006 & 2007

Pertumbuhan ekonomi sampai kuartal ketiga 2006 sekitar 5,14 persen. Berdasarkan konsensus para analis, pertumbuhan keseluruhan 2006 akan mencapai 5,4 persen. Dalam arti lain, pertumbuhan ekonomi kuartal keempat diprediksi sekitar 6,18 persen. Bagaimana dengan 2007?

Untuk tahun 2007, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan lebih baik sekitar 6 persen. Ekspor memang diprediksi tidak akan sebaik tahun ini, karena ekonomi dunia 2007 yang diprediksi melambat. Bahkan lantaran ekonomi dunia yang memburuk ini, HSBC Asia berani memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2007 hanya 4,8 persen.

Namun demikian, hampir semua analis sepakat bahwa tren penurunan SUKU BUNGA akan menjadi sumber utama perbaikan ekonomi 2007. Suku bunga rendah diyakini akan mendorong peningkatan domestic demand (investasi dan konsumsi swasta) yang selama ini tersendat.

Forecaster

2006

2007

Andalan Advisindo

5.4%

6.4%

PEMERINTAH

5.8%

6.3%

BII

5.5%

6.2%

Business Monitor Intl

5.0 %

6.2%

Danareksa

5.5%

6.2%

WorldBank

5.5%

6.2%

Ing Group NV

5.5%

6.0%

Lippobank

5.3%

6.0%

CIMB-GK Securities

5.2%

6.0%

Standard Chartered

5.5%

6.0 %

ANZ Bank

-

6.0 %

Umar Juoro

5.5 %

6.0 %

Faisal Basri

-

6.0 %

IMF

5.2 %

6.0 %

BANK INDONESIA

5.5 %

6.0 %

Bank of America

5.5%

5.9%

Mandiri Securities

5.4%

5.9%

Nomura Securities

5.4%

5.9%

Bahana Securities

5.4%

5.8%

Forecast Ltd

5.3%

5.8%

Chatib Basri

5.4 5.6%

5.8 6.3%

DBS Group

5.2%

5.7%

Capital Economics Ltd

5.3%

5.6%

Action Economics

5.3%

5.5%

HSBC Asia

5.1%

4.8%

Median

5.4%

6.0 %

Note: Actual Growth 2006 (Q1-Q3) = 5,14 %

Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan & Pengangguran

Jika pada tahun ini angka kemiskinan meningkat dan pertumbuhan ekonomi melambat, itu adalah hal yang wajar. Pasalnya ekonomi memperoleh beban berat akibat kenaikan harga BBM yang sangat tinggi akhir tahun lalu. Yang aneh justru, mengapa angka pengangguran menurun?

Sebagian mungkin telah dijawab oleh Rasyad di sini.



Sumber data: BPS

Monday 4 December 2006

Investasi Anjlok, Lapangan kerja bertambah

TAHUN INI, ekonomi boleh saja tumbuh lebih rendah. Kalangan industri juga boleh saja mengeluh dengan kenaikan segala macam biaya. Kalangan perbankan juga boleh kecewa karena pertumbuhan kredit yang sangat rendah. Tapi TAHUN INI merupakan tahun paling menggembirakan bagi para penganggur.

BPS kemarin mengumumkan bahwa sejak Nov 2005 sampai Agustus 2006, jumlah penganggur terbuka berkurang sekitar 1 juta orang. Atau secara presentase, angka pengangguran berkurang dari 11,24 persen menjadi 10,28 persen.

Ini tentu merupakan pencapaian yang fantastis, di tengah kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dan di tengah pertumbuhan investasi yang sangat parah. Data BPS menunjukkan bahwa investasi bisnis sampai Januari-September 2006 justru anjlok 16 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Apa artinya? Tanpa investasi pun, pemerintah ternyata masih bisa menciptakan lapangan kerja yang sangat besar. Hebat sekali dan tentunya SELAMAT untuk satu juta pengaggur yang telah mulai bekerja.

Thursday 30 November 2006

Rakyat oh Rakyat (dua)

Minyak tanah langka. Bukan berita baru, karena ini sudah merupakan fenomena lumrah semenjak SBY-JK memimpin negeri ini. Yang baru hanyalah penyebab kelangkaan kali ini terungkap jelas yaitu kuota yang hampir habis (menurut pejabat Pertamina)

Kita tentu akan bertanya, kenapa tidak ditambah saja kuotanya. Bukankah itu akan menyelesaikan masalah? Untuk tambahan 1 juta kilo liter lagi saja seharusnya tidak menjadi beban besar bagi APBN. Masih lebih rendah daripada keuntungan yang diperoleh pemerintah dari selisih harga minyak mentah asumsi APBN dengan harga pasaran.
Pemerintah sebenarnya mau saja menambah. Hanya persoalannya, pemerintah suka berpikir rumit ketika ingin menolong rakyat. Berbeda dengan cara perpikir ketika ingin membebaninya.

Menkeu Sri Mulyani, misalnya, kemarin menyatakan: Jika ingin menambah kuota minyak tanah bersubsidi, Pertamina harus menyampaikan realisasi dan verifikasi terlebih dahulu. Pembayaran subsidi juga harus diaudit dulu, dll.

Rumit dan sulit sekali. Kenapa tidak ditambah saja dulu, baru belakangan diaudit dan diverifikasi. Rakyat sekarang sedang menderita dan sangat butuh distribusi minyak tanah.

Tolonglah rakyat terlebih dahulu. Biarlah audit mengaudit menjadi urusan pemerintah dengan Pertamina nanti.

Thursday 9 November 2006

Rakyat oh Rakyat

Tahun lalu memang tahun pahit bagi rakyat. Subsidi BBM yang membengkak, akibat kenaikan harga minyak dunia, terpaksa dipotong hampir seluruhnya. Harga BBM pun naik tidak tanggung-tanggung, lebih dari 100 persen. Harga produk lain melonjak. Daya beli rakyat merosot drastis. Kemiskinan meningkat.

Pahit!

Tapi barangkalii benar apa kata orang. Setelah kepahitan sering ada manisnya. Akhir-akhir ini, harga minyak dunia cenderung terus turun. Untuk BBM bersubsidi seperti Premium, selisih harga subsidi dan harga pasar sudah sangat tipis sekali, atau bahkan mungkin sudah tidak ada. Harga Pertamax (oktan tinggi) saja sudah Rp 4.850 per liter, sangat dekat dengan harga BBM Premium bersubsidi (oktan rendah) Rp 4.500 per liter.

Artinya, jika harga minyak dunia turun sedikit lagi, besar kemungkinan harga BBM Premium akan diputuskan turun. Logikanya, pemerintah rasa-rasanya tidak mungkin tega mengambil selisih harga pasar dan subsidi (harga pasar dikurangi harga subsidi). Derita rakyat akibat ulah pemerintah tahun lalu sudahlah cukup. Kini harusnya pemerintah membiarkan rakyatnya menikmati selisih tersebut, meskipun sedikit.

Namun nampaknya rakyat harus gigit jari dan membuang jauh angan-angan tersebut. Harga minyak belum turun saja, Menkeu Sri Mulyani sudah mewanti-wanti tidak akan menurunkan harga BBM bersubsidi dalam waktu dekat ini. Katanya, paling cepat Semester Kedua tahun 2007, berbarengan dengan revisi budget. Itupun masih bergantung pada Keputusan Presiden, dll.

Entahlah, kenapa Sri Mulyani berpikir sangat ruwet dan mencari beribu alasan hanya untuk "sedikit sekali" menyenangkan hati rakyatnya. Sungguh sebuah cara berpikir yang sangat bertolak belakang dengan cara berpikir ketika menaikkan harga BBM tahun lalu (cara sangat pintas). Mungkinkah ini yang namanya ketidakadilan?

Rakyat oh rakyat...

Wednesday 26 July 2006

Selamat tinggal Independensi BPS

Suara Karya melaporkan:
Seusai bertemu dengan Menko Perekonomian Boediono, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan berencana mengubah metode pengukuran angka kemiskinan. Katanya, pengubahan metode pengukuran itu dimaksudkan untuk memperkuat validitas data yang dihasilkan, jika dibandingkan dengan penggunaan metode sebelumnya.

Memperkuat validitas data atau memperbaiki citra pemerintah? Sulit mengetahui yang sebenarnya. Yang jelas, kita harus mengucapkan selamat tinggal pada BPS yang independen.

Tuesday 25 July 2006

Kredibilitas Perkiraan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan sulit mencapai target 5,9 persen. Begitu pernyataan Chatib Basri, pengamat ekonomi dari LPEM UI yang juga menjadi staf ahli Menko Perekonomian.

Pesimisme yang sama juga diungkapkan Bank Indonesia dengan memperkirakan ekonomi hanya tumbuh maksimal 5,7 persen tahun ini. IMF yang biasanya over-estimate kali ini malah memprediksi ekonomi tumbuh lebih rendah lagi yaitu 5,2 persen.

Tetapi Menko Perekonomin Boediono rupanya masih 'keukeuh' di angka 5,9 persen, meski Boediono mengakui sendiri bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun ini masih berat.

Sedikit catatan. Dengan fakta ekonomi hanya tumbuh 4,6 persen pada kuartal pertama, maka untuk mencapai pertumbuhan 5,9 persen tahun ini, dibutuhkan pertumbuhan rata-rata 6,33 persen selama tiga kuartal sisanya. Apa mungkin?

Mari kita tunggu siapa yang lebih kredibel. Paling tidak, sampai BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua pada 15 Agustus 2006 nanti.

Monday 24 July 2006

Iklim Investasi vs ORI

Jasso Winarto, Pengamat Pasar Modal dari Sigma Research Institute, menyatakan:
Penerbitan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) oleh pemerintah bisa menggairahkan iklim investasi di dalam negeri yang kini lesu. Pemodal bisa memanfaatkan dana ke instrumen investasi dengan return bagus dan tanpa risiko.

Berbicara mengenai investasi portfolio, siapapun seharusnya tidak punya alasan untuk menyatakan iklim investasi portfolio sedang lesu, apalagi oleh seorang pengamat pasar modal. Investor di pasar finansial saat ini sedang berpesta pora meraup untung, memanfaatkan kebijakan suku bunga tinggi yang masih dianut Bank Indonesia. Angka investasi portfolio pun pada tahun 2006 meningkat tinggi, yang kemudian mendongkrak kinerja pasar modal dan pasar uang.

Kalau yang si pengamat maksud adalah iklim investasi riil seperti pembangunan pabrik, maka benar adanya bahwa investasi memang sedang lesu. Data mendukung pernyataan tersebut. Tetapi pertanyaannya, apakah penerbitan ORI ada hubungannya dengan upaya menggairahkan investasi riil? Sulit untuk mengatakan Iya.

ORI adalah bentuk investasi portfolio, tidak merepresentasikan investasi riil. Suku bunga tinggi adalah surga bagi investor portfolio, tapi neraka bagi investor sektor riil. Jika digeneralisir, kesimpulan bisa tidak konsisten dengan argumennya.

Thursday 13 July 2006

Teroris ekonomi

Antara melaporkan:
Harga minyak menyentuh posisi tertinggi baru di atas 78 dolar AS per barel di perdagangan Asia. Penyebab utamanya adalah serangan militer Israel terhadap Libanon.
Selama ini, kenaikan harga minyak telah menjadi ancaman paling menakutkan bagi ekonomi dunia. Pun negara penghasil minyak yang sangat besar seperti Indonesia tidak luput dari dampak buruk kenaikan tersebut.

Berbeda dengan resiko aksi teroris yang hanya menghancurkan satu gedung/kafe dan membunuh ratusan orang dalam sekejap, kenaikan harga minyak dapat membunuh jutaan orang secara perlahan. Sayangnya aksi militer seperti di atas, yang sering menjadi biang kerok kenaikan harga minyak, seolah-olah menjadi hal biasa dan bisa dimengerti.

Padahal itu adalah aksi teror yang sangat nyata, dan pelakunya sangat pantas dicap sebagai 'teroris ekonomi'.

Monday 10 July 2006

Mengapa Rupiah menguat?

Sejak awal tahun, Rupiah terus menguat terhadap Dolar AS. Fundamental membaik atau hanya karena dolar kurang diminati? Bisa jadi dua-duanya. Tetapi grafik ini mungkin bisa sedikit memberi gambaran.

sumber data

Wednesday 5 July 2006

Investasi membaik?

BKPM kemarin melaporkan, realisasi investasi Indonesia semester pertama 2006 masih tumbuh tinggi 12,12 persen. Laporan tersebut dikutip oleh sejumlah media dan memberi kesan seakan-akan Indonesia telah semakin baik di mata investor. Benarkah?

Mari kita balik ke belakang. Sekitar tiga bulan yang lalu, BKPM melaporkan data sejenis dengan periode yang lebih pendek yaitu realisasi investasi pada kuartal pertama 2006 (Januari–Maret). Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa realisasi investasi tumbuh tinggi sekitar 41,39 persen. Lebih detilnya di sini.

Poinnya, pertumbuhan investasi semester pertama 2006 jauh lebih rendah dari pertumbuhan kuartal pertama 2006. Ini berarti, selama tiga bulan terakhir (April-Juni), pertumbuhan investasi justru tumbuh negatif sekitar 26 persen. Sebuah angka yang sebenarnya sangat mengkhawatirkan.


Satu hal lagi. Laporan BKPM yang menyatakan investasi kuartal pertama meningkat 41.4 persen ternyata cenderung bias ke atas (lebih tinggi dari sebenarnya). Data resmi BPS (laporan GDP) menunjukkan bahwa 'investasi bisnis' kuartal pertama 2006 justru anjlok 8,2 persen.

Dengan data tersebut, tampaknya sulit untuk menyatakan kinerja investasi di Indonesia semakin baik.

Wednesday 28 June 2006

Antara Target dan Realisasi

Angka Pengangguran

Angka Kemiskinan

Bukan hanya targetnya tidak tercapai, tetapi tren realisasi malah bertolak belakang dengan target!

Wednesday 21 June 2006

Bersama Menyelesaikan Beban Utang

Dalam Kongres ISEI XVI di Manado, Menkeu Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah tidak berminat mengemplang utang seperti yang telah dilakukan Argentina. Katanya, struktur utang Indonesia saat ini sangat berbeda dengan Argentina. Argentina dulu pinjam ke Bond Holder dan individual. Pilihan Argentina untuk ngemplang samasekali tidak berbahaya dan jika Indonesia memaksakan diri untuk mengikutinya, bisa sangat beresiko buat APBN.

Secara implisit, pernyataan tersebut setidaknya memiliki dua makna. Pertama, pemerintah sebenarnya mengakui bahwa utang luar negeri sudah sangat membebani APBN dan perlu melakukan sesuatu untuk menguranginya. Kedua, pemerintah ternyata juga melakukan analisa terhadap berbagai usulan pengurangan utang oleh kelompok masyarakat dan ekonom. Tentu, kedua hal tersebut sangatlah menggembirakan karena semua elemen bangsa menyadari beratnya beban utang dan juga bersama-sama berupaya menyelesaikannya.

Sebenarnya, selain cara ngemplang ala Argentina, masih ada dua cara lain untuk mengurangi beban utang yang terus disuarakan kelompok masyarakat yaitu menggunakan pendekatan geostrategis ala Pakistan (memanfaatkan isu terorisme) dan cara negosiasi baik-baik ala Nigeria.

Cara Pakistan sangat mungkin dicontoh Indonesia, karena posisi tawar Indonesia dalam urusan terorisme sangat baik. Selama ini, pemerintah Indonesia bukan hanya berniat untuk memberantas terorisme, tetapi juga telah melakukan aksi penangkapan gembong teroris. Indonesia seharusnya dapat "menjual" daya upaya tersebut untuk mendapat keringanan utang.

Cara negosiasi baik-baik ala Nigeria juga sangat terbuka untuk dilakukan. Toh, utang yang diberikan selama ini telah terbukti banyak dikorupsi, disalahgunakan dan bahkan sebagian kembali lagi untuk membayar biaya konsultan dari pihak kreditor. Jumlah rakyat miskin di Indonesia yang juga tidak main-main besarnya, lebih dari 40 juta orang, juga bisa dijadikan argumen untuk melakukan negosiasi.

Kedua alternatif penyelesaian utang yang dicontohkan Pakistan dan Nigeria di atas mudah-mudahan juga secepatnya dipikirkan Pemerintah. Tentu yang lebih baik adalah pemerintah menemukan formula kebijakan sendiri yang sesuai dengan Indonesia.

Tuesday 20 June 2006

Hati-hati dengan SUN

Pemerintah menargetkan penerbitan Surat Utang Negara (SUN) 2006 neto (setelah dikurangi penukaran dan pembelian kembali) sebesar Rp 38 triliun pada APBN-Perubahan 2006, atau Rp 14 triliun dari target awal. Ini terkait dengan pembengkakan defisit APBN 2006 dari semula 0,7% menjadi 1,4%.

Banyak pertanyaan, apa pasar sanggup menyerap SUN sebanyak itu? Jika secara Neto saja Rp 38 triliun, maka secara gross bisa mencapai sekitar Rp 80 triliun.

Barangkali daya serap pasar bukan masalah. Terlebih di Indonesia saat ini masih banyak berkeliaran hedge fund asing. Pertanyaan pentingnya adalah berapa kenaikan yield yang akan ditanggung pemerintah?

Dengan penawaran yang lebih banyak, tentu pasar akan memasang yield lebih tinggi. Pasar juga harusnya sudah sangat paham, pemerintah tidak banyak memiliki pilihan untuk membiayai APBN selain menerbitkan SUN. Menambah pembiayaan dari luar negeri hampir tidak mungkin lagi. Tambahan utang CGI baru-baru ini saja sudah mendapat protes keras dari masyarakat. Posisi tawar pemerintah akan semakin rendah dan yield SUN akan terdorong lebih tinggi lagi.

Resikonya, cicilan bunga utang pada tahun-tahun mendatang akan semakin membengkak. Yang lebih berbahaya lagi, sektor swasta akan semakin sulit mencari pembiayaan lewat obligasi, karena terdesak oleh obligasi pemerintah yang resikonya lebih rendah, bahkan hampir nol (crowding out).

Nampaknya, pemerintah sangat perlu berhati-hati!

Facts speak louder than words

Beberapa minggu lalu, Koalisi Anti Utang (KAU) menyelenggarakan seminar nasional dalam rangka memperingati ulang tahun ke-50 Mafia Berkeley. Kesimpulan utama seminar tersebut adalah kebijakan ekonomi Indonesia yang terus dikendalikan Mafia Berkeley selama 50 tahun terakhir telah menyebabkan Indonesia tertinggal dari negara lain seperti Malaysia, Thailand, dan China.

Mafia Berkeley sendiri sebenarnya bukan hanya sebutan untuk kelompok ekonom Indonesia lulusan Universitas di Berkeley, tetapi juga untuk ekonom lain yang mengekorinya. Tipikal dari ekonom yang menjadi anggota Mafia Berkeley adalah kebijakan anggaran ketat, menghapus subsidi, liberalisasi keuangan, dan meminimalkan peran pemerintah dalam ekonomi sekecil mungkin (privatisasi). Tidak jauh berbeda dengan prinsip kebijakan IMF dan WorldBank.

Menkeu Sri Mulyani rupanya merupakan salah satu ekonom yang merasa tersindir. Dalam Kongres ISEI di Manado, menurut beberapa peserta yang hadir, Sri Mulyani menyampaikan pidato pembelaan dari tuduhan antek IMF dan Mafia Berkeley, sampai matanya berkaca-kaca terharu.

Tapi pepatah mengatakan facts speak louder than words. Sri Mulyani harusnya tidak perlu susah payah berpidato membela diri, apalagi sampai menitikkan air mata segala. Bukankah faktanya sudah cukup banyak? Menolak moratorium utang, pilihan kebijakan yang cenderung monetaris, terus mengadakan rapat rutin dengan WorldBank dan IMF serta berupaya mencari-cari alasan agar utang kepada IMF diundur, dll.

Thursday 15 June 2006

Penyelamat IMF

Kondisi ekonomi yang membaik ternyata tidak selamanya menjadi berkah. IMF, lembaga keuangan yang telah malang melintang di lingkungan internasional, malah menghadapi krisis lantaran ekonomi dunia yang tumbuh tinggi selama tiga tahun terakhir.

Ironis, karena secara teoritis maupun pengalaman praktek, kinerja lembaga keuangan biasanya berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Nyaris tidak pernah ada cerita lembaga keuangan yang terkena krisis lantaran ekonomi membaik. Terlebih bagi lembaga sekelas IMF yang selama ini mengaku paling piawai dalam urusan krisis keuangan.

Persoalan terbesar yang dihadapi IMF adalah terus merosotnya posisi pinjaman dan saat ini hanya mencapai sekitar US$ 35 miliar. Angka tersebut merupakan level terendah sejak tahun 1980-an. Padahal, tidak berbeda dengan lembaga keuangan lainnya, pinjaman merupakan salah satu sumber utama penghasilan IMF untuk tetap survive.

Ketika posisi pinjaman merosot, pundi-pundi uang IMF praktis akan terus berkurang karena penerimaan bunga yang lebih rendah. Malah sangat mungkin tidak cukup lagi untuk menutupi biaya operasional. IMF diprediksi akan mengalami kerugian operasional sekitar US$ 600 juta setiap tahunnya selama tiga tahun ke depan dan terancam harus mengurangi jumlah pegawainya.

Makna lain yang jauh lebih penting dari penurunan posisi pinjaman adalah semakin rendahnya kendali IMF terhadap kebijakan ekonomi global. Selama ini pencairan pinjaman pasti dimanfaatkan secara maksimal oleh IMF, melalui perjanjian yang biasa disebut Letter of Intent (LoI), untuk mengendalikan kebijakan ekonomi negara pasiennya.

Tentu masih kuat dalam ingatan, bagaimana IMF berhasil mengendalikan kebijakan ekonomi Indonesia pada saat krisis ekonomi 1998 lalu. Jumlah prasyarat yang diberikan pun tidak tanggung-tanggung hingga mencapai 140 prasyarat.

Kebijakan yang dikendalikan ternyata malah tidak terbatas pada sektor finansial dan moneter, tetapi juga mencakup kebijakan teknis mikroekonomi yang praktis ada di luar kompetensi IMF. Padahal, pinjaman IMF tersebut tidak memiliki manfaat langsung bagi ekonomi karena hanya bersifat cadangan kedua (second lier defense), yaitu sebagai tambahan cadangan devisa dan baru dapat digunakan jika Indonesia telah menghabiskan seluruh cadangan devisa yang ada

Terlepas dari itu, ketika posisi pinjaman IMF berkurang seperti sekarang ini, IMF otomatis kehilangan kemampuannya untuk mendikte kebijakan ekonomi suatu negara. Contoh yang paling aktual adalah ketidakberdayaan IMF untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi Cina sebulan terakhir. Seperti diketahui, kebijakan Cina mematok nilai Yuan di level yang rendah disinyalir menjadi salah satu penyebab defisitnya neraca perdagangan Amerika Serikat.

Namun IMF, yang power vote-nya dikuasai Amerika Serikat, ternyata tidak mampu berbuat banyak untuk menindaklanjutinya. Kenapa? Karena IMF tidak lagi memiliki portfolio pinjaman di Cina, sehingga tidak lagi dapat mendikte Cina untuk mendepresiasikan nilai Yuan.

Sekarang pertanyaannya, apa hubungannya ekonomi dunia yang membaik dengan krisis yang dialami IMF? Pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi selama 4 tahun terakhir, telah mendorong peningkatan aliran modal ke negara Asia dan Amerika Latin. Dari 2001 sampai 2005, negara-negara berkembang di Asia menikmati peningkatan cadangan devisa hingga mencapai 150 persen atau dua setengah kalinya. Demikian juga negara Amerika Latin yang mengalami peningkatan cadangan devisa hampir 100 persen.

Peningkatan cadangan devisa tersebut tidak disia-siakan oleh negara-negara yang menjadi pasien IMF. Tidak kurang 10 negara termasuk Brazil, Argentina dan Rusia akhirnya melunasi utang mereka lebih cepat dari jadwalnya.

Indonesia?
Setelah 10 negara di atas melunasi utangnya kepada IMF, Indonesia akhirnya menjadi debitor IMF terbesar kedua setelah Turki. Besar kemungkinan IMF akan menggunakan segala cara untuk mempertahankan utangnya di Indonesia.

Sebenarnya, posisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan Brasil dan Argentina. Sama-sama telah menjadi korban malpraktik IMF, tetapi tidak lagi terikat dengan Letter of Intent, dan juga sama-sama menikmati peningkatan cadangan devisa yang signifikan selama beberapa tahun terakhir.

Hanya bedanya, Argentina dan Brasil berani memutuskan untuk menggunakan cadangan devisa mereka untuk membayar seluruh utangnya kepada IMF. Sementara Indonesia sampai titik ini masih mempertahankan keberadaan utang IMF sekitar US$ 7,51 miliar.

Padahal tidak ada lagi alasan bagi Indonesia untuk tidak mengikuti langkah Argentina dan Brasil. Daripada menganggung bunga sekitar 4,3% (US$ 323 juta/tahun) dan kebijakan ekonomi terus diintervensi IMF, kenapa tidak dilunasi saja secepatnya?

Posisi cadangan devisa Indonesia sudah sangat tinggi hingga sekitar US$ 44 miliar. Jika utang IMF dilunasi sekaligus, sisa cadangan devisa masih cukup besar sekitar US$ 36,5 miliar atau setara dengan 5,9 bulan impor + cicilan utang (Asumsi rata-rata impor dan cicilan utang per bulan masing-masing sekitar US$ 4,8 miliar dan US$ 1,43 miliar). Sehingga relatif tidak akan banyak berpengaruh pada Rupiah.

Kendalanya di Indonesia saat ini masih banyak bercokol teknokrat kaki tangan IMF yang sibuk mencari alasan agar utang IMF tidak dilunasi. Beberapa waktu lalu, Menkeu Sri Mulyani, menyatakan pelunasan utang IMF akan beresiko bagi anggaran karena juga harus diikuti pelunasan utang JBIC. Ini alasan yang disengaja dan berlebihan hanya untuk memperumit persoalan, karena perjanjian tersebut sangat terbuka untuk dinegosiasikan.

Benar saja. Kemarin, JBIC ternyata merestui bahwa pelunasan utang IMF tidak akan dikaitkan dengan utang JBIC. Gobble... gobble.. gobble..

Sekarang tidak ada lagi alasan yang tersisa. Selain pemerintah ingin menjadi penyelamat IMF.

Monday 10 April 2006

Ironi Sektor Riil dan Finansial

Pada triwulan pertama tahun ini, kita mendengar bahwa pasar finansial mampu mencatat prestasi yang fantastis. Indeks harga saham seakan tak kenal lelah untuk mencatat rekor terbaiknya. Nilai tukar rupiah pun sangat percaya diri hingga baru-baru ini menguat hingga di bawah level Rp 9.000 per US$. Ini tentu kabar yang sangat menggembirakan.

Namun pada triwulan pertama tahun ini pula, kita juga mendengar keluh kesah sektor riil lantaran daya beli masyarakat yang terus merosot. Produsen mobil mengeluhkan turunnya angka penjualan yang mencapai 42 persen awal tahun ini. Demikian juga pedagang barang eceran yang sepi pengunjung hingga harus menderita penurunan penjualan sekitar 27 persen selama setahun terakhir.

Derita industri sepeda motor pun tidak kalah buruknya. Malah persoalan tambahan harus dihadapi perusahaan pembiayaan karena banyak konsumen yang meminta perpanjangan jangka waktu pembayaran kredit. Katanya, peningkatan cicilan sebagai konsekuensi tingginya suku bunga sudah sangat memberatkan.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, produsen elektronik mulai mengambil ancang-ancang untuk mengurangi produksi karena stok barang yang terus menumpuk. Ini artinya gelombang PHK berpotensi terjadi dan jumlah penganggur yang telah melebihi 10 juta orang dipastikan akan semakin bertambah.

Kondisi di atas sekaligus menjadi rekor terburuk kinerja sektor riil pasca krisis ekonomi 1998. Ironisnya, rekor tersebut bertolak belakang dengan rekor baik yang dicatat oleh sektor finansial.

Wednesday 15 March 2006

Terperangkap Stabilitas Finansial

*Jawapos, 16 Mar 2006|Phone Nuryadin
Setelah mengeluarkan berbagai paket ekonomi, pekan lalu Menko Perekonomian Boediono, kembali menyampaikan strategi kebijakan ekonomi nasional pada tahun ini. Dikatakan bahwa objektif utama pemerintah pada tahun 2006 adalah menstabilkan makroekonomi dengan menurunkan inflasi kembali menjadi satu digit. Baru kemudian diikuti dengan upaya membalikkan kemerosotan ekonomi dan menghidupkan investasi.

Sepintas memang menurunkan inflasi adalah kebijakan ekonomi yang paling masuk akal untuk dijadikan prioritas tahun ini. Pasalnya, inflasi tinggi tahun 2005 telah menjadi momok paling menakutkan bagi kalangan sektor riil dan industri keuangan.

Namun melihat perkembangan ekonomi beberapa bulan terakhir dan juga pengalaman kebijakan ekonomi pemerintah sebelumnya, strategi ekonomi yang lebih memprioritas inflasi dan stabilitas finansial sesungguhnya bukan merupakan sebuah langkah yang tepat.

Pertama, inflasi bukan lagi menjadi persoalan utama tahun ini. Memang benar pada tahun 2005, inflasi mencapai 17,1% dan menjadi sumber utama kemerosotan ekonomi sepanjang tahun. Tetapi apakah inflasi tahun 2006 akan setinggi tahun 2005?

Rasanya tidak. Tanpa upaya ekstra pun, inflasi diyakini akan jauh lebih rendah dan bahkan bukan tidak mungkin bisa mencapai level satu digit. Terkecuali pemerintah sendiri yang menciptakannya dengan kembali menaikkan harga-harga setinggi tahun 2005.

Tengok saja kecenderungan inflasi selama tiga bulan terakhir. Sejak Desember 2005 sampai Februari 2006, inflasi kumulatif hanya mencapai 1,9% atau secara rata-rata hanya sekitar 0,63% per bulan. Kencenderungan tersebut seharusnya relatif tidak terlalu berbahaya bagi ekonomi.

Kedua, stabilitas finansial memang penting, tetapi seharusnya tidak menjadi objektif utama, melainkan hanya sebagai objektif antara. Objektif utama suatu pemerintahan di bidang ekonomi tetap pada upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran.

Ini penting karena jika prioritasnya dibalik, maka langkah-langkah untuk mencapai stabilitas finansial seringkali kontradiktif dengan upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mengurangi pengangguran. Persis seperti yang terjadi pada ekonomi Indonesia periode 2002-2004.

Ketika itu, tim ekonomi pemerintah juga sangat mendewakan stabilitas finansial. Hasilnya, inflasi berhasil dijaga pada tingkat yang rendah antara 5-7%, kurs rupiah stabil pada level Rp 8.000 - 9.000 per US$ dan defisit anggaran berhasil ditekan dibawah 2% dari PDB. Tetapi di sisi lain, ekonomi tumbuh rendah sekitar 4-5% dan angka pengangguran meningkat dari 8,1% menjadi 9,9%.

Kondisi tersebut sekaligus juga telah menjadi titik lemah kinerja ekonomi di bawah Presiden Megawati sehingga menjadi sasaran kritik oleh hampir semua partai dan calon Presiden pada Pemilu tahun 2004. Pasangan SBY-JK bahkan secara optimal telah mamanfaatkan tingginya tingkat pengangguran sebagai bahan kampanye pemilihan Presiden.

Ketiga, sulit dimengerti, mengapa Menko Perekonomian harus terus menerus mengurusi stabilitas finansial dan moneter? Padahal urusan tersebut jelas merupakan wewenang Bank Indonesia. Meski tidak ada salahnya, tetapi sektor riil dan fiskal juga memiliki masalah tersendiri yang membutuhkan perhatian sangat besar dari Menko Perekonomian.

Di pasar barang, misalnya, para pedagang terus mengeluhkan penurunan penjualan. Hasil survei Bank Indonesia di 5 kota besar menunjukkan indeks riil penjualan eceran secara persisten terus mengalami kemerosotan. Jika pada bulan April 2005 mencapai 180,6, maka pada Februari 2006 hanya tinggal 131,2, atau tumbuh negatif sekitar 27%.

Para pengusaha di sektor industri juga mengalami pukulan yang berat akibat tingginya biaya operasional. Gelombang PHK semakin meningkat dan di sejumlah daerah, sebagian pengusaha bahkan telah memutuskan untuk menutup pabriknya.

Pertanyaannya, adakah yang telah dilakukan Menko Perekonomian untuk mengakhiri kemerosotan ekonomi tersebut setelah tiga bulan bekerja? Praktis tidak banyak, jika tidak ingin mengatakan tidak ada. Tindakan Menko yang bolak-balik mengurusi inflasi, suku bunga dan indikator finansial lainnya malah memberi kesan lari dari tanggung jawab dan cenderung menjadi upaya untuk mencari credit point.

Paket infrastruktur dan paket investasi yang disusun Menko pun pastinya bukanlah solusi. Pasalnya, paket investasi ternyata hanya paket "ompong melompong" yang berisi rencana kebijakan akan ini dan akan itu. Waktu pelaksanaannya pun sarat dengan penyelesaian peraturan perundang-undangan, yang membutuhkan proses penyelesaian yang sangat lama. Padahal derita sektor riil terus berpacu dengan waktu.

Satu hal lagi, akhir-akhir ini Indonesia dihadapkan pada persoalan strategis di bidang ekonomi yang menyangkut investasi dan keamanan berbisnis. Freeport menghadapi permasalahan karena masyarakat Papua mendesak perusahan tersebut menghentikan operasinya. Exxon Mobil dan Pertamina menghadapi persoalan terkait dengan pengoperasian Blok Cepu, yang akhirnya dimenangkan Exxon Mobil. Demikian juga Cemex yang berencana melakukan penjualan sahamnya di Semen Gresik.

Namun Menko Perekonomian kurang memberikan perhatian terhadap berbagai persoalan stategis tersebut. Padahal, apa gunanya Menko melakukan kampanye kebijakan investasi jika persoalan investasi yang ada di depan mata saja tidak diperhatikan?

Singkatnya, menjaga stabilitas finansial penting. Tetapi tidak lantas membuat kita naif dengan persoalan dan dinamika ekonomi riil jangka pendek. Menko Perekonomian beserta Tim-nya harus membuka diri, melihat masalah ekonomi secara lebih realistis agar tidak terus terperangkap dengan upaya mencapai stabilitas finansial.

Wednesday 15 February 2006

RatingKu Sayang, RakyatKu Malang

*Jawapos, 16 Feb 2006|Phone Nuryadin
Standard & Poors (S&P), lembaga pemeringkat utang yang cukup kredibel di lingkungan internasional, pekan lalu meningkatkan outlook rating utang Indonesia dari stable menjadi positive. S&P juga menegaskan rating utang Indonesia dalam valuta asing adalah 'B+/B' dan dalam mata uang lokal adalah 'BB/B'.

Apa artinya? Tidak semua masyarakat paham dan peduli tentang makna perubahan tersebut dan bahkan mungkin sebagian besar masih sangat asing dengan istilah rating utang. Masyarakat hanya memahami perubahan tersebut sebagai pertanda bahwa Indonesia semakin baik di mata internasional.

Wajar Meningkat
Rating atau peringkat utang suatu negara merupakan indikator yang melambangkan risiko negara tersebut di mata kreditor atau si pemberi utang. Secara garis besar, ada dua indikator utama penilaian risiko oleh lembaga pemeringkat, yaitu indikator risiko ekonomi (economic risk) dan risiko politik (political risk).

Resiko ekonomi terkait dengan kemampuan suatu negara untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang (capacity to pay). Sedangkan resiko politik terkait dengan kemauan pemerintahnya untuk terus taat membayar utang (willingness to pay).

Jika pekan lalu S&P meningkatkan rating Indonesia, itu berarti kreditor menilai pemerintah SBY-JK telah berhasil memperbaiki kedua indikator resiko tersebut, yaitu kapasitas (capacity) sekaligus kemauan (willingness) untuk membayar utang kepada kreditor.

Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa Indonesia sangat wajar memperoleh perbaikan outlook rating dan bahkan cukup optimis dapat meningkat adalah benar adanya. Fakta memang menunjukkkan bahwa selama setahun terakhir, Indonesia telah berhasil memperbaiki kedua indikator tersebut.

Untuk indikator capacity to pay, yang tercermin pada neraca keuangan pemerintah (APBN), jelas menunjukkan adanya perbaikan selama setahun terakhir. Dari sisi penerimaan, pemerintah memperoleh tambahan anggaran yang cukup besar dari penerimaan Minyak Bumi dan Gas seiring melonjaknya harga minyak dunia.

Sedangkan pada sisi pengeluaran, pemerintah berhasil melakukan penghematan yang cukup signifikan. Beban subsidi BBM yang mencapai Rp 137 triliun, sebagian besar telah dipotong melalui kenaikan harga BBM yang sangat tinggi sebanyak dua kali selama tahun 2005.

Dengan tambahan penerimaan dan pemotongan subsidi tersebut, pemerintah pada tahun-tahun mendatang memiliki keleluasaan untuk mengalokasikan anggaran kepada sektor lainnya, termasuk salah satunya untuk membayar utang. Ini berarti kapasitas APBN telah meningkat.

Untuk indikator willingness to pay, pengendali kebijakan ekonomi pemerintah saat ini merupakan para ahli yang dikenal cukup patuh kepada kreditor. Apalagi dengan berbagai sikap dan rencana kebijakan mereka akhir-akhir ini, nampak sekali mereka tetap ingin menjadikan Indonesia sebagai pembayar utang yang baik.

Penolakan pemotongan utang (debt cut) merupakan salah satu contohnya. Alasannya, Indonesia tidak masuk kategori Highly Indebted Poor Country (HIPC) dan tidak ikut program IMF.

Meski alasan tersebut sangat mengada-ada, namun kira-kira begitulah gambaran kepatuhan Tim Ekonomi kepada kreditor. Disebut mengada-ada karena Nigeria juga bukan anggota HIPC dan tidak ikut program IMF, tetapi berhasil memperoleh potongan utang sekitar 60%.

Dengan latar belakang dan pilihan kebijakan Tim Ekonomi pemerintah saat ini, sangat wajar jika kreditor menilai Indonesia sebagai negara yang nyaris tidak memiliki resiko willingness to pay.

Stakeholders lain Terbebani
Sampai titik ini, penghargaan patut dipersembahkan kepada pemerintah SBY-JK karena telah berhasil memenuhi harapan salah satu stakeholders negara Indonesia. Namun perlu diingat, kreditor bukanlah satu-satunya stakeholders. Masih ada stakeholders lain yang seharusnya lebih diutamakan yaitu rakyat dan kalangan industri.

Sudahkah harapan mereka dipenuhi? Jika kembali mengulas setahun ke belakang, ketika pemerintah mengklaim terjadi tekanan terhadap APBN, pemerintah memiliki banyak pilihan untuk mengatasinya.

Ada dua pos belanja yang paling besar dalam APBN saat itu yaitu belanja subsidi dan cicilan utang, yang keduanya mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Pos belanja subsidi terkait dengan kepentingan rakyat dan industri, sementara pos pembayaran cicilan utang terkait dengan kepentingan kreditor.

Tetapi lantaran arah kebijakan yang lebih mengutamakan capacity dan willingness untuk membayar utang, pemerintah akhirnya mengorbankan rakyat dan kalangan industri melalui pemotongan subsidi BBM. Sementara beban utang samasekali tidak pernah diupayakan untuk dikurangi. Malahan rakyat ditakut-takuti dengan berbagai macam argumen tentang resiko pengurangan cicilan utang.

Demikian juga pada fenomena pengurangan subsidi listrik yang menjadi pro-kontra belakangan ini. Rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik jelas (TDL) dan keenggganan untuk menegosiasikan pemotongan utang merupakan indikasi bahwa pemerintah lebih memprioritaskan kepentingan kreditor ketimbang rakyat dan kalangan industri.

Jika memang ketidakmampuan APBN yang menjadi alasan, kalangan industri dan rakyat harusnya tidak dibiarkan lagi menanggung beban. Sementara kreditor terus dimanja dan dibiarkan menikmati cicilan pokok dan bunga utang yang semakin tinggi.

Kebijakan adalah memilih. Tetapi pilihan terbaik tentu yang memenuhi harapan ketiga stakeholders utama negara Indonesia yaitu rakyat, kalangan industri dan kreditor. Jika harus mengorbankan rakyat dan kalangan industri untuk kepentingan kreditor, jelas itu adalah pilihan yang tidak bijak. Buat apa rating utang yang mentereng, tetapi rakyat dan kalangan industri semakin susah dengan kenaikan harga dan biaya.