Pages

pendapatan nasional

Pendapatan Nasional Sejarah Konsep pendapatan nasional pertama kali dicetuskan oleh Sir William Petty dari Inggris yang berusaha menaksir pendapatan nasional negaranya(Inggris) pada tahun 1665

Featured 2

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 3

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 4

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 5

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Monday 21 February 2005

Bukan Pilihan Terakhir

*Jawapos, 21 Feb 05 | Phone Nuryadin
BELUM habis kekecewaan masyarakat karena kinerja 100 hari pemerintahan SBY-Kalla belum memperlihatkan hasil nyata, rakyat harus kembali shock dengan rencana kenaikan harga BBM sekitar 30-40 persen.

Rakyat pun harus bersiap-siap menanggung dampak atas kenaikan tersebut terhadap harga makanan, biaya transportasi, dan kebutuhan pokok lain. Saat ini, harga kebutuhan pokok bahkan telah beranjak naik antara 5-10 persen. Pertanyaannya, apakah kenaikan harga BBM yang sangat tinggi telah menjadi pilihan terakhir pemerintah untuk menyelamatkan anggaran?

Memang harus diakui, kenaikan harga minyak dunia telah meningkatkan beban anggaran, terutama membengkaknya beban subsidi BBM. Dengan perubahan asumsi harga minyak dari USD 24 menjadi USD 35 per barel, misalnya, beban subsidi akan meningkat sekitar Rp 44 triliun. Tetapi, langkah pemerintah yang mengalihkan sebagian besar beban tersebut kepada rakyat merupakan pilihan tidak adil dan tidak bertanggung jawab.

Ketidakadilan dalam kebijakan itu tampak jelas karena pada saat yang sama, pemerintah justru terus meningkatkan subsidi kepada bank-bank melalui program penjaminan dan rekapitalisasi. Beberapa waktu lalu, pemerintah memberikan subsidi sekitar Rp 3,39 triliun kepada tiga bank yang dilikuidasi, yaitu Bank Asiatic, Bank Dagang Bali, dan Bank Global. Subsidi sejenis mungkin akan terus meningkat pada tahun ini. Sebab, ada tiga atau empat bank lagi yang menghadapi masalah sama.

Munculnya pernyataan bahwa kenaikan harga BBM adalah pilihan terakhir dan satu-satunya jalan untuk mengurangi beban anggaran sama sekali tidak berdasar. Pernyataan tersebut justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk memecahkan masalah anggaran. Padahal, terdapat sejumlah alternatif kebijakan yang selama ini dapat dilakukan, yaitu:

Pertama, pengurangan subsidi bank rekap. Untuk APBN 2004, pengeluaran bunga obligasi bank rekap mencapai Rp 41 triliun, dua kali lebih besar daripada subsidi BBM yang hanya mencapai Rp 19 triliun.

Pemerintah SBY tidak pernah sama sekali membahas pengurangan subsidi tersebut. Padahal, pengeluaran bunga obligasi bank rekap hanya dinikmati segelintir konglomerat dan bankir nakal, yang sama sekali tidak pantas menerima subsidi dari negara. Jika pemerintah benar-benar memiliki komitmen untuk berpihak kepada rakyat, pengurangan pembayaran bunga obligasi bank rekap harus dijadikan prioritas utama sebelum merencanakan pengurangan subsidi BBM.

Kedua, mengefisienkan Pertamina. Bukan rahasia lagi, Pertamina merupakan gudangnya korupsi dan penyuapan. Salah satu penyalahgunaan yang paling nyata di tubuh Pertamina saat ini adalah penggunaan jasa trading companies atau broker untuk melakukan ekspor dan impor minyak. Pada era Orde Baru, trading companies itu dikuasai putra-putra Soeharto dan keluarga Bakrie, dengan trading margin mencapai 20-30 sen per barel.

Keberadaan broker-broker telah menyebabkan pemborosan sangat besar di tubuh Pertamina. Bayangkan jika trading margin yang mereka peroleh sebesar 25 sen per barel, ketidakefisienan Pertamina dalam melakukan ekspor dan impor minyak mencapai Rp 16,5 miliar per hari atau kurang lebih Rp 6 triliun per tahun.

Karena itu, Pertamina harus didesak untuk melakukan ekspor dan impor minyak secara langsung agar tidak dibebani lagi dengan berbagai jenis pengeluaran yang tidak perlu.

Inefisiensi lain di tubuh Pertamina adalah tingkat utilisasi kilang minyak yang masih sangat rendah pada kisaran 70-80 persen sehingga belum menghasilkan output yang optimal. Padahal kilang minyak di negara lain memiliki tingkat utilisasi hingga 95 persen. Demikian juga sistem maintenance dan loss management program di kilang-kilang tersebut perlu diperbaiki untuk menekan jumlah output yang terbuang.

Ketiga, mengoptimalkan tawaran moratorium utang. Sikap pemerintah yang cenderung menolak tawaran moratorium utang pantas disesalkan. Jika pemerintah melakukan upaya serius, Indonesia paling tidak akan memperoleh pengurangan beban pembayaran utang sekitar Rp 25 triliun per tahun.

Dengan berkurangnya beban utang, Indonesia akan memperoleh kelonggaran anggaran yang signifikan. Pemerintah pun tidak harus terburu-buru menaikkan harga BBM yang tinggi pada awal tahun ini. Usulan agar menunda kenaikan BBM sembari mempersiapkan program kompensasi yang efektif bahkan menjadi pilihan yang jauh lebih optimal.

Sayangnya, pemerintah telah menyia-nyiakan momentum moratorium dan justru merencanakan kenaikan harga BBM yang membebani rakyatnya.

***
Ketiga alternatif tersebut membuktikan bahwa kenaikan harga BBM bukanlah merupakan pilihan terakhir dan jalan satu-satunya untuk mengurangi beban anggaran. Meski dua alternatif pertama disadari merupakan pilihan yang berat karena menyangkut bisnis konglomerat dan bankir nakal. Tetapi dengan komitmen tinggi terhadap rakyat, alternatif itu harusnya dapat dilaksanakan. Bukankah selayaknya SBY lebih berpihak kepada rakyat daripada konglomerat dan bankir nakal?

Thursday 17 February 2005

Belajar Ekspor dari Negeri Cina

*| Phone Nuryadin

MENGAGUMKAN! Itulah kata yang pantas diucapkan untuk mengomentari pengumuman angka pertumbuhan ekonomi China bulan lalu. Meski pemerintah China telah berupaya keras mengerem pertumbuhan ekonominya, tetap saja geliat ekonomi mereka belum mampu dikendalikan. Masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, ekonomi China tahun 2004 diumumkan masih tumbuh tinggi 9,5 persen, jauh melebihi prediksi ekonom pada umumnya.

Dua puluh tahun lalu, China bukanlah apa-apa. Pendapatan per kapita-nya tidak lebih dari rata-rata dunia.

Tapi kini, China telah menjadi salah satu raksasa Asia yang menjadi pesaing utama Jepang. Kesejahteraan rakyatnya pun mengalami peningkatan yang luar biasa. Negara-negara besar seperti Jepang, Amerika dan beberapa negara Eropa bahkan sangat khawatir dengan fenomena tingginya pertumbuhan China. Bagaimana tidak, China saat ini telah menjadi salah satu pengendali perdagangan dunia ketiga terbesar. Produk-produk China mengalami ekspansi yang sangat cepat dan sedikit demi sedikit menekan pangsa pasar produk Amerika dan Jepang.

Tingginya pertumbuhan ekonomi China, yang dimotori ekspor, tentu bukanlah merupakan hasil kerja yang cepat dan mudah. Jauh sebelum semua itu dicapai, pemerintah China telah melakukan upaya keras untuk menyusun strategi dan kebijakan, dengan memanfaatkan keunggulan komparatif yang mereka miliki.

Upaya tersebut dimulai pada tahun 1979, dimana pemerintah China menentukan Special Economic Zones (SEZ’s) atau daerah khusus yang untuk mengembangkan industri yang berbasis ekspor. Di wilayah SEZ’s, pemerintah China memberikan kelonggaran regulasi dan stimulus pajak yang lebih ringan dibanding daerah lainnya.

Peraturan dan prosedur di bidang ekspor dan investasi juga disiapkan sejak dini untuk memudahkan aliran modal dan barang dari dan menuju SEZ’s. Selain itu, China juga memanfaatkan keunggulan komparatif mereka berupa murahnya biaya tenaga kerja (labor cost), dengan berupaya lebih fokus pada pengembangan industri yang labor intensive seperti tekstil dan produk pertanian.

Strategi lain yang juga paling krusial dalam pengembangan ekspor China adalah membina hubungan baik dengan Hongkong. Hubungan dengan Hongkong tidak hanya mampu meningkatkan aliran modal ke China, tetapi juga memudahkan China mengadopsi teknologi baru, mengaplikasikan manajemen yang lebih modern serta menjadi pintu utama China untuk mengkases pasar dunia.

Aliran Investasi pun akhirnya meningkat tajam.
Lalu kebijakan ekspor Indonesia?