Pages

pendapatan nasional

Pendapatan Nasional Sejarah Konsep pendapatan nasional pertama kali dicetuskan oleh Sir William Petty dari Inggris yang berusaha menaksir pendapatan nasional negaranya(Inggris) pada tahun 1665

Featured 2

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 3

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 4

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 5

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Wednesday 28 June 2006

Antara Target dan Realisasi

Angka Pengangguran

Angka Kemiskinan

Bukan hanya targetnya tidak tercapai, tetapi tren realisasi malah bertolak belakang dengan target!

Wednesday 21 June 2006

Bersama Menyelesaikan Beban Utang

Dalam Kongres ISEI XVI di Manado, Menkeu Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah tidak berminat mengemplang utang seperti yang telah dilakukan Argentina. Katanya, struktur utang Indonesia saat ini sangat berbeda dengan Argentina. Argentina dulu pinjam ke Bond Holder dan individual. Pilihan Argentina untuk ngemplang samasekali tidak berbahaya dan jika Indonesia memaksakan diri untuk mengikutinya, bisa sangat beresiko buat APBN.

Secara implisit, pernyataan tersebut setidaknya memiliki dua makna. Pertama, pemerintah sebenarnya mengakui bahwa utang luar negeri sudah sangat membebani APBN dan perlu melakukan sesuatu untuk menguranginya. Kedua, pemerintah ternyata juga melakukan analisa terhadap berbagai usulan pengurangan utang oleh kelompok masyarakat dan ekonom. Tentu, kedua hal tersebut sangatlah menggembirakan karena semua elemen bangsa menyadari beratnya beban utang dan juga bersama-sama berupaya menyelesaikannya.

Sebenarnya, selain cara ngemplang ala Argentina, masih ada dua cara lain untuk mengurangi beban utang yang terus disuarakan kelompok masyarakat yaitu menggunakan pendekatan geostrategis ala Pakistan (memanfaatkan isu terorisme) dan cara negosiasi baik-baik ala Nigeria.

Cara Pakistan sangat mungkin dicontoh Indonesia, karena posisi tawar Indonesia dalam urusan terorisme sangat baik. Selama ini, pemerintah Indonesia bukan hanya berniat untuk memberantas terorisme, tetapi juga telah melakukan aksi penangkapan gembong teroris. Indonesia seharusnya dapat "menjual" daya upaya tersebut untuk mendapat keringanan utang.

Cara negosiasi baik-baik ala Nigeria juga sangat terbuka untuk dilakukan. Toh, utang yang diberikan selama ini telah terbukti banyak dikorupsi, disalahgunakan dan bahkan sebagian kembali lagi untuk membayar biaya konsultan dari pihak kreditor. Jumlah rakyat miskin di Indonesia yang juga tidak main-main besarnya, lebih dari 40 juta orang, juga bisa dijadikan argumen untuk melakukan negosiasi.

Kedua alternatif penyelesaian utang yang dicontohkan Pakistan dan Nigeria di atas mudah-mudahan juga secepatnya dipikirkan Pemerintah. Tentu yang lebih baik adalah pemerintah menemukan formula kebijakan sendiri yang sesuai dengan Indonesia.

Tuesday 20 June 2006

Hati-hati dengan SUN

Pemerintah menargetkan penerbitan Surat Utang Negara (SUN) 2006 neto (setelah dikurangi penukaran dan pembelian kembali) sebesar Rp 38 triliun pada APBN-Perubahan 2006, atau Rp 14 triliun dari target awal. Ini terkait dengan pembengkakan defisit APBN 2006 dari semula 0,7% menjadi 1,4%.

Banyak pertanyaan, apa pasar sanggup menyerap SUN sebanyak itu? Jika secara Neto saja Rp 38 triliun, maka secara gross bisa mencapai sekitar Rp 80 triliun.

Barangkali daya serap pasar bukan masalah. Terlebih di Indonesia saat ini masih banyak berkeliaran hedge fund asing. Pertanyaan pentingnya adalah berapa kenaikan yield yang akan ditanggung pemerintah?

Dengan penawaran yang lebih banyak, tentu pasar akan memasang yield lebih tinggi. Pasar juga harusnya sudah sangat paham, pemerintah tidak banyak memiliki pilihan untuk membiayai APBN selain menerbitkan SUN. Menambah pembiayaan dari luar negeri hampir tidak mungkin lagi. Tambahan utang CGI baru-baru ini saja sudah mendapat protes keras dari masyarakat. Posisi tawar pemerintah akan semakin rendah dan yield SUN akan terdorong lebih tinggi lagi.

Resikonya, cicilan bunga utang pada tahun-tahun mendatang akan semakin membengkak. Yang lebih berbahaya lagi, sektor swasta akan semakin sulit mencari pembiayaan lewat obligasi, karena terdesak oleh obligasi pemerintah yang resikonya lebih rendah, bahkan hampir nol (crowding out).

Nampaknya, pemerintah sangat perlu berhati-hati!

Facts speak louder than words

Beberapa minggu lalu, Koalisi Anti Utang (KAU) menyelenggarakan seminar nasional dalam rangka memperingati ulang tahun ke-50 Mafia Berkeley. Kesimpulan utama seminar tersebut adalah kebijakan ekonomi Indonesia yang terus dikendalikan Mafia Berkeley selama 50 tahun terakhir telah menyebabkan Indonesia tertinggal dari negara lain seperti Malaysia, Thailand, dan China.

Mafia Berkeley sendiri sebenarnya bukan hanya sebutan untuk kelompok ekonom Indonesia lulusan Universitas di Berkeley, tetapi juga untuk ekonom lain yang mengekorinya. Tipikal dari ekonom yang menjadi anggota Mafia Berkeley adalah kebijakan anggaran ketat, menghapus subsidi, liberalisasi keuangan, dan meminimalkan peran pemerintah dalam ekonomi sekecil mungkin (privatisasi). Tidak jauh berbeda dengan prinsip kebijakan IMF dan WorldBank.

Menkeu Sri Mulyani rupanya merupakan salah satu ekonom yang merasa tersindir. Dalam Kongres ISEI di Manado, menurut beberapa peserta yang hadir, Sri Mulyani menyampaikan pidato pembelaan dari tuduhan antek IMF dan Mafia Berkeley, sampai matanya berkaca-kaca terharu.

Tapi pepatah mengatakan facts speak louder than words. Sri Mulyani harusnya tidak perlu susah payah berpidato membela diri, apalagi sampai menitikkan air mata segala. Bukankah faktanya sudah cukup banyak? Menolak moratorium utang, pilihan kebijakan yang cenderung monetaris, terus mengadakan rapat rutin dengan WorldBank dan IMF serta berupaya mencari-cari alasan agar utang kepada IMF diundur, dll.

Thursday 15 June 2006

Penyelamat IMF

Kondisi ekonomi yang membaik ternyata tidak selamanya menjadi berkah. IMF, lembaga keuangan yang telah malang melintang di lingkungan internasional, malah menghadapi krisis lantaran ekonomi dunia yang tumbuh tinggi selama tiga tahun terakhir.

Ironis, karena secara teoritis maupun pengalaman praktek, kinerja lembaga keuangan biasanya berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Nyaris tidak pernah ada cerita lembaga keuangan yang terkena krisis lantaran ekonomi membaik. Terlebih bagi lembaga sekelas IMF yang selama ini mengaku paling piawai dalam urusan krisis keuangan.

Persoalan terbesar yang dihadapi IMF adalah terus merosotnya posisi pinjaman dan saat ini hanya mencapai sekitar US$ 35 miliar. Angka tersebut merupakan level terendah sejak tahun 1980-an. Padahal, tidak berbeda dengan lembaga keuangan lainnya, pinjaman merupakan salah satu sumber utama penghasilan IMF untuk tetap survive.

Ketika posisi pinjaman merosot, pundi-pundi uang IMF praktis akan terus berkurang karena penerimaan bunga yang lebih rendah. Malah sangat mungkin tidak cukup lagi untuk menutupi biaya operasional. IMF diprediksi akan mengalami kerugian operasional sekitar US$ 600 juta setiap tahunnya selama tiga tahun ke depan dan terancam harus mengurangi jumlah pegawainya.

Makna lain yang jauh lebih penting dari penurunan posisi pinjaman adalah semakin rendahnya kendali IMF terhadap kebijakan ekonomi global. Selama ini pencairan pinjaman pasti dimanfaatkan secara maksimal oleh IMF, melalui perjanjian yang biasa disebut Letter of Intent (LoI), untuk mengendalikan kebijakan ekonomi negara pasiennya.

Tentu masih kuat dalam ingatan, bagaimana IMF berhasil mengendalikan kebijakan ekonomi Indonesia pada saat krisis ekonomi 1998 lalu. Jumlah prasyarat yang diberikan pun tidak tanggung-tanggung hingga mencapai 140 prasyarat.

Kebijakan yang dikendalikan ternyata malah tidak terbatas pada sektor finansial dan moneter, tetapi juga mencakup kebijakan teknis mikroekonomi yang praktis ada di luar kompetensi IMF. Padahal, pinjaman IMF tersebut tidak memiliki manfaat langsung bagi ekonomi karena hanya bersifat cadangan kedua (second lier defense), yaitu sebagai tambahan cadangan devisa dan baru dapat digunakan jika Indonesia telah menghabiskan seluruh cadangan devisa yang ada

Terlepas dari itu, ketika posisi pinjaman IMF berkurang seperti sekarang ini, IMF otomatis kehilangan kemampuannya untuk mendikte kebijakan ekonomi suatu negara. Contoh yang paling aktual adalah ketidakberdayaan IMF untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi Cina sebulan terakhir. Seperti diketahui, kebijakan Cina mematok nilai Yuan di level yang rendah disinyalir menjadi salah satu penyebab defisitnya neraca perdagangan Amerika Serikat.

Namun IMF, yang power vote-nya dikuasai Amerika Serikat, ternyata tidak mampu berbuat banyak untuk menindaklanjutinya. Kenapa? Karena IMF tidak lagi memiliki portfolio pinjaman di Cina, sehingga tidak lagi dapat mendikte Cina untuk mendepresiasikan nilai Yuan.

Sekarang pertanyaannya, apa hubungannya ekonomi dunia yang membaik dengan krisis yang dialami IMF? Pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi selama 4 tahun terakhir, telah mendorong peningkatan aliran modal ke negara Asia dan Amerika Latin. Dari 2001 sampai 2005, negara-negara berkembang di Asia menikmati peningkatan cadangan devisa hingga mencapai 150 persen atau dua setengah kalinya. Demikian juga negara Amerika Latin yang mengalami peningkatan cadangan devisa hampir 100 persen.

Peningkatan cadangan devisa tersebut tidak disia-siakan oleh negara-negara yang menjadi pasien IMF. Tidak kurang 10 negara termasuk Brazil, Argentina dan Rusia akhirnya melunasi utang mereka lebih cepat dari jadwalnya.

Indonesia?
Setelah 10 negara di atas melunasi utangnya kepada IMF, Indonesia akhirnya menjadi debitor IMF terbesar kedua setelah Turki. Besar kemungkinan IMF akan menggunakan segala cara untuk mempertahankan utangnya di Indonesia.

Sebenarnya, posisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan Brasil dan Argentina. Sama-sama telah menjadi korban malpraktik IMF, tetapi tidak lagi terikat dengan Letter of Intent, dan juga sama-sama menikmati peningkatan cadangan devisa yang signifikan selama beberapa tahun terakhir.

Hanya bedanya, Argentina dan Brasil berani memutuskan untuk menggunakan cadangan devisa mereka untuk membayar seluruh utangnya kepada IMF. Sementara Indonesia sampai titik ini masih mempertahankan keberadaan utang IMF sekitar US$ 7,51 miliar.

Padahal tidak ada lagi alasan bagi Indonesia untuk tidak mengikuti langkah Argentina dan Brasil. Daripada menganggung bunga sekitar 4,3% (US$ 323 juta/tahun) dan kebijakan ekonomi terus diintervensi IMF, kenapa tidak dilunasi saja secepatnya?

Posisi cadangan devisa Indonesia sudah sangat tinggi hingga sekitar US$ 44 miliar. Jika utang IMF dilunasi sekaligus, sisa cadangan devisa masih cukup besar sekitar US$ 36,5 miliar atau setara dengan 5,9 bulan impor + cicilan utang (Asumsi rata-rata impor dan cicilan utang per bulan masing-masing sekitar US$ 4,8 miliar dan US$ 1,43 miliar). Sehingga relatif tidak akan banyak berpengaruh pada Rupiah.

Kendalanya di Indonesia saat ini masih banyak bercokol teknokrat kaki tangan IMF yang sibuk mencari alasan agar utang IMF tidak dilunasi. Beberapa waktu lalu, Menkeu Sri Mulyani, menyatakan pelunasan utang IMF akan beresiko bagi anggaran karena juga harus diikuti pelunasan utang JBIC. Ini alasan yang disengaja dan berlebihan hanya untuk memperumit persoalan, karena perjanjian tersebut sangat terbuka untuk dinegosiasikan.

Benar saja. Kemarin, JBIC ternyata merestui bahwa pelunasan utang IMF tidak akan dikaitkan dengan utang JBIC. Gobble... gobble.. gobble..

Sekarang tidak ada lagi alasan yang tersisa. Selain pemerintah ingin menjadi penyelamat IMF.