A. Ada tiga teori klasik, yaitu:
a. Teori Kemanfaatan Absolut (Absolute Advantage) Adam Smith
Teori
yang dikembangkan oleh Adam Smith ini dikenal sebagai teori absolut
cost advantage. Dalam teori ini menganggap (asumsi):
Ada dua negara saja yang berdagang satu sama lain
dua komoditi yang bias dihasilkan di kedua negara tersebut
Teori ini lebih mendasarkan pada besaran (variable) riil bukan moneter
sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory)
perdagangan internasional. Murni dalam arti bahwa teori ini memusatkan
perhatiannya pada variable riil seperti misalnya nilai sesuatu barang
diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan untuk
menghasilkan barang. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin
tinggi nilai barang tersebut (labor theory of value).
Teori nilai tenaga kerja ini sifatnya sangat sederhana sebab menggunakan
anggapan bahwa tenaga kerja itu sifatnya homogen serta merupakan
satu-satunya factor produksi.
Teori Klasik itu mempunyai dua manfaat: memungkinkan kita dengan secara sederhana menjelaskan tentang spesialisasi dan keuntungan dari pertukaran.
meskipun pada teori-teori berikutnya (teori modern) kita tidak
menggunakan teori nilai tenaga kerja namun prinsip teori ini tetap tidak
bisa ditinggalkan. Masing-masing negara yang melakukan perdagangan
internasional akan didorong untuk melakukan spesialisasi dalam produksi
barang-barang yang mempunyai keuntungan mutlak.
Keuntungan
mutlak (absolute advantage) adalah keuntungan yang dinyatakan dengan
banyaknya jam/hari kerja yang dibutuhkan untuk membuat barang-barang
tersebut. Keuntungan akan diperoleh apabila masing-masing negara mampu
menghasilkan barang-barang tertentu dengan jam/hari kerja yang lebih
sedikit dibandingkan dengan seandainya barang-barang itu dibuat oleh
negaralain.
b.Teoribiaya relatif(Comparative Cost) David Ricardo
Beberapa kelemahan teori Adam Smith adalah:
Ia tidak mempersoalkan kemungkinan negara-negara yang sama sekali tidak
mempunyai keuntungan mutlak terhadap negara-negara lain. Misalnya
negara-negara sedang berkembang terhadap negara-negara maju.
Selain itu ia tidak menjelaskan berapa besar dasar tukar (term of trade)
yang akan terjadi. Seandainya negara-negara tersebut benar-benar jadi
melakukan perdagangan internasional dan seberapa besar manfaat atau
keuntungan yang akan diperoleh masing-masing negara dari perdagangan
internasional tersebut.
Bertitik tolak dari
kelemahan-kelemahan analisa Adam Smith, Ricardo berusaha untuk
memperbaikinya. Ia membagi perdagangan menjadi dua yaitu perdagangan
dalam negeri dan perdagangan luar negeri.
Menurut
Ricardo perdagangan luar negeri tidak mungkin dilakukan atas dasar
keuntungan mutlak. Menurut dia dasar tukar barang-barang ditentukan oleh
biaya comparatif (comparative cost).
Perdagangan antar negara akan timbul apabila masing-masing negara memiliki comparative cost yang terkecil.
Teori biaya mutlak Adam Smith tidak dapat digunakan untuk menjelaskan
bagaimana perdagangan internasional dapat terjadi di antara kedua negara
di mana salah satu negara memiliki keuntungan mutlak dalam produksi
semua barang yang mau diperdagangkan
b.
Teori kemanfaatan relatif (Comparative Advantage) J.S. Mill
Pada dasarnya teori comparative cost dari Ricardo dan comparative
advantage sama, hanya kalau pada teori comparative advantage untuk
sejumlah tertentu tenaga kerja di masing-masing negara output-nya
berbeda, pada comparative cost, untuk sejumlah output tertentu, waktu
yang dibutuhkan berbeda antara satu negara dengan negara lain
teori-teori klasik tersebut diatas disusun berdasarkan beberapa anggapan
Hanya ada dua negara dan dua barang yang diperdagangkan.
Mendasarkan diri pada labor theory of value.
Ongkos produksi konstan.
Ongkos transportasi diabaikan (sama dengan nol).
Faktor-faktor produksi dapat bergerak bebas di dalam negeri, tetapi
sama sekali tidak dapat berpindah melewati perbatasan negara.
Persaingan sempurna di pasar barang maupun di pasar factor produksi.
Distribusi pendapatan dalam suatu negara tidak mempengaruhi perniagaan antar negara.
Perdagangan dilaksanakan hanya dalam ujud barter (pertukaran barang dengan barang).
Tidak ada perubahan teknologi.
Pemikiran
kaum klasik telah mendorong diadakannya perjanjian perdagangan bebas
antara beberapa negara. Teori comparative advantage telah berkembang
menjadi dynamic comparative advantage yang menyatakan bahwa keunggulan
komparatif dapat diciptakan. Oleh karena itu penguasaan teknologi dan
kerja keras menjadi faktor keberhasilan suatu negara. Bagi negara yang
menguasai teknologi akan semakin diuntungkan dengan adanya perdagangan
bebas ini, sedangkan negara yang hanya mengandalkan kepada kekayaan alam
akan kalah dalam persaingan internasional.
Teori Neo-Klasik Dalam Perdagangan Internasional1).
Mazhab neoklasik telah mengubah pandangan tentang ekonomi baik dalam
teori maupun dalam metodologinya. Teori nilai tidak lagi didasarkan pada
nilai tenaga kerja atau biaya produksi tetapi telah beralih pada
kepuasan marjinal (marginal utility). Pendekatan ini merupakan
pendekatan yang baru dalam teori ekonomi.
2). Salah satu pendiri
mazhab neoklasik yaitu Gossen, dia telah memberikan sumbangan dalam
pemikiran ekonomi yang kemudian disebut sebagai Hukum Gossen I dan II.
Hukum Gossen I menjelaskan hubungan kuantitas barang yang dikonsumsi dan
tingkat kepuasan yang diperoleh, sedangkan Hukum Gossen II, bagaimana
konsumen mengalokasikan pendapatannya untuk berbagai jenis barang yang
diperlukannya. Selain Gossen, Jevons dan Menger juga mengembangkan teori
nilai dari kepuasan marjinal. Jevons berpendapat bahwa perilaku
individulah yang berperan dalam menentukan nilai barang. Dan perbedaan
preferences yang menimbulkan perbedaan harga. Sedangkan Menger
menjelaskan teori nilai dari orde berbagai jenis barang, menurut dia
nilai suatu barang ditentukan oleh tingkat kepuasan terendah yang dapat
dipenuhinya. Dengan teori orde barang ini maka tercakup sekaligus teori
distribusi.
3). Pemikiran yang sangat mengagumkan yang disusun
oleh Walras tentang teori keseimbangan umum melalui empat sistem
persamaan yang serempak. Dalam sistem itu terjadi keterkaitan antara
berbagai aktivitas ekonomi seperti teori produksi, konsumsi dan
distribusi. Asumsi yang digunakan Walras adalah persaingan sempurna,
jumlah modal, tenaga kerja, dan lahan terbatas, sedangkan teknologi
produksi dan selera konsumen tetap. Jika terjadi perubahan pada salah
satu asumsi ini maka terjadi perubahan yang berkaitan dengan seluruh
aktivitas ekonomi
Kelebihan Teori Neo-Klasik Dalam Perdagangan InternasionalKaum
neoklasik mengatakan bahwa baik perdagangan international maupun aliran
modal international cenderung untuk meratakan distribusi pendapatan
didalam suatu Negara maupun antar Negara.
Ada tiga asumsi dasar
dalam ilmu ekonomi neoklasik: 1) Orang-orang rasional.. 2) Individu dan
perusahaan memaksimalkan utilitas atau laba. 3) Individu berperilaku
secara independen dan dengan informasi lengkap. Awalnya berhak oleh
Thorstein Veblen pada tahun 1900 dalam karyanya "prakonsepsi Ilmu
Ekonomi," tumbuh ekonomi neoklasik dari sebuah gerakan revolusioner
untuk menggabungkan utilitas dan pemikiran rasional ke dalam ajaran inti
ekonomi. Dijuluki oleh banyak orang sebagai "revolusi marjinal," karya
yang mendorong gerakan ini termasuk "Teori Ekonomi Politik," oleh
William Jevons Stanley, "Prinsip Ekonomi," oleh Carl Menger, dan "Elemen
Ekonomi Murni," oleh Leon Walras.
Sebagai ekonomi neoklasik adalah
teori ekonomi yang dominan, itu sesuai mencakup sebagian besar subtopik
studi di bawah ekonomi seperti ekspektasi rasional, organisasi industri,
ekonomi makro,dll
Salah satu manfaat utama dari ekonomi
neoklasik adalah bahwa hal ini membantu untuk menjelaskan bagaimana
menetapkan harga dan kuantitas yang dihasilkan tiba di dalam
perekonomian.. Dengan memperkenalkan individu sebagai utilitas
memaksimalkan agen dalam perekonomian, teori ini dapat menjelaskan
mengapa harga naik kekurangan atau bagaimana monopoli membatasi suplai
untuk memaksimalkan keuntungan.
B.
Teori Modern Dalam Perdagangan InternasionalPerdagangan
antar negara maju pesat sejak pertengahan abad 19 sampai dengan
permulaan abad 20. Keamanan serta kedamaian dunia ( sebelum perang dunia
I ) memberikan saham yang besar bagi perkembangan perdagangan
internasional yang pesat. Teori klasik nampaknya mampu memberikan dasar
serta penjelasan bagi kelangsungan jalannya perdagangan dunia. Hal itu
terlihat dari usaha masing-masing negara yang ikut didalamnya untuk
melakukan spesialisasi dalam produksi, serta berusaha mengekspor
barang-barang yang paling sesuai / menguntungkan bagi mereka.
Negara-negara / daerah- daerah tropik berusaha untuk menspesialisasikan
diri mereka dalam produksi serta ekspor barang-barang yang berasal dari
pertanian, perkebunan, dan pertambangan, sedangkan Negara-negara /
daerah-daerah sedang, yang relatif kaya akan modal, berusaha untuk
menspesialisasikan diri mereka dalam produksi serta ekspor barang-barang
industri. Heckscher-Ohlin mengemukakan konsepsinya yang dapat
disimpulkan sebagai berikut : a. Bahwa perdagangan internasional / antar
negara tidaklah banyak berbeda dan hanya merupakan kelanjutan saja dari
perdagangan antar daerah. Perbedaan pokoknya terletak pada masalah
jarak. Atas dasar inilah maka Ohlin melepaskan anggapan ( yang berasal
dari teori klasik ) bahwa dalam perdagangan internasional ongkos
transport dapat diabaikan.
b. Bahwa barang-barang yang diperdagangkan antar negara tidaklah didasarkan atas
keuntungan alamiah atau keuntungan yang diperkembangkan ( natural and acquired
advantages dari Adam Smith ) akan tetapi atas dasar proporsi serta intensitas faktor-
faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang itu.
Masing-masing
negara memiliki faktor-faktor produksi neo-klasik ( tanah, tenaga
kerja, modal ) dalam perbandingan yang berbeda-beda, sedang untuk
menghasilkan sesuatu barang tertentu diperlukan kombinasi faktor-faktor
produksi yang tertentu pula
Namun demikian tidaklah berarti bahwa
kombinasi faktor-faktor produksi itu adalah tetap. Jadi untuk
menghasilkan sesuatu macam barang tertentu fungsi produksinya dimanapun
juga sama, namun proporsi masing-masing faktor produksi dapatlah
berlainan ( karena adanya kemungkinan penggantian / subtitusi faktor
yang satu dengan faktor yang lainnya dalam batas-batas tertentu ). Jadi
teori Heckscher-Ohlin dalam batas-batas definisinya menyatakan bahwa :
a. Sesuatu negara akan menghasilkan barang-barang yang menggunakan
faktor produksi yang relatif banyak ( dalam arti bahwa harga relatif
faktor produksi itu murah ), sehingga harga barang-barang itu relatif
murah karena ongkos produksinya relatif murah. Karena itu Indonesia yang
memiliki relatif banyak tenaga kerja sedang modal relatif sedikit
sebaiknya menghasilkan dan mengekspor barang-barang yang relatif padat
karya. b. Dengan mengutamakan produksi dan ekspornya pada barang-barang
yang menggunakan faktor produksi yang relatif banyak, maka harga faktor
produksi yang relatif banyak akan naik. Dalam hal ini “relatif
banyak”menunjuk kepada jumlah phisiknya, bukan harga relatifnya. Karena
harga relatif kedua macam barang itu sebelum perdagangan berjalan adalah
berlainan, maka negara yang memiliki faktor produksi tenaga kerja
relatif banyak akan cenderung untuk menaikan produksi barang yang padat
karya dan mengurangi produksi barangnya yang padat modal. Negara itu
akan mengekspor barangya yang padat karya dan mengimpor barang yang
padat modal. Dengan demikian perdagangan internasional akan mendorong
naik harga faktor produksi yang relatif sedikit. Sebagai akibatnya untuk
negara yang memiliki faktor produksi modal relatif banyak, upah akan
turun sedang harga modal – tingkat bunga – akan naik. Jadi perdagangan
internasional cenderung untuk mendorong harga faktor produksi yang sama,
antar negara menjadi sama pula (equalization of factor
price).
Perdagangan
internasional terjadi karena masing-masing pihak yang terlibat
didalamnya merasa memperoleh manfaat dari adanya perdagangan tersebut.
Dengan demikian perdagangan tidak lain adalah kelanjutan atau bentuk
yang lebih maju dari pertukaran yang didasarkan atas kesukarelaan
masing-masing pihak yang terlibat. Tentu saja pengertian “kesukarelaan”
dalam perdagangan internasional harus diberi tanda petik, karena
realitasnya kesukarelaan ini sebenarnya tidak selalu terjadi, namun
paksaan yang mendorong terjadinya perdagangan internasional tersebut
tidaklah selalu terlihat jelas. Salah satu bentuk paksaan ini misalnya,
terlihat pada perdagangan yang timbul sebagai akibat bantuan luar negeri
yang mengikat (Tied aid). Apabila negara A menerima bantuan dari negara
B tetapi dengan ketentuan bahwa bantuan (kredit) itu harus dibelanjakan
di negara B, maka perdagangan yang timbul antara A dan B sebagai akibat
pemberian bantuan itu jelas tidak sepenuhnya didasarkan atas
kesukarelaan kedua belah pihak. Paksaan yang lebih halus lagi terlihat
pada bentuk-bentuk perdagangan internasional yang merupakan ikutan dari
perkembangan industrialisasi dalam negara-negara yang sedang berkembang
yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa yang mempunyai cabang
di berbagai negara dan berinduk di negara maju (perusahaan-perusahaan
multinasional).
Harga barang yang sama dapat berlainan di negara
yang berlainan karena harga dicerminkan oleh ongkos produksi (apabila
permintaan dianggap sama), sehingga perbedaan harga timbul karena
perbedaan ongkos produksi. Menurut Ricardo & Mill, Ongkos produksi
ditentukan oleh banyaknya jam kerja yang dicurahkan untuk membuat barang
itu. Jadi apabila untuk membuat barang yang sama diperlukan banyak jam
yang berlainan bagi negar yang berlainan tersebut, maka ongkos
produksinya juga akan berlainan. Perbedaan dalam banyak jam kerja
menurut teori Ricardian (klasik) disebabkan karena perbedaan dalam
teknik produksi (atau tingkat teknologi), perbedaan dalam ketrampilan
kerja (produktivitas tenaga kerja), perbedaan dalam penggunaan faktor
produksi atau kombinasi antar mereka. Dengan kata lain ongkos produksi
untuk membuat barang yang sama berlainan karena fungsi produksinya lain.
Menurut Heckscher – Ohlin, ongkos produksi ditentukan oleh penggunaan
faktor produksi atau sumber daya. Jadi apabila faktor produksi itu
digunakan dalam proporsi dan intensitas, yang berlainan, walaupun
tingkat teknologi dan produktivitas tenaga kerja sama, ongkos produksi
untuk membuat barang yang sama di negara yang berlainan juga akan lain.
Perbedaan dalam penggunaan proporsi dan intensitas faktor produksi yang
disebabkan karena perbedaan dalam hadiah alam (factor endowment) yang
diterima oleh masing- masing negara. Dengan kata lain ongkos produksi
untuk membuat barang yang sama berlainan karena perbedaan hadiah alam,
bukan karena fungsi produksinya lain.
Salah satu kesimpulan utama
teori H-O adalah bahwa perdagangan internasional cenderung untuk
menyamakan tidak hanya harga barang-barang yang diperdagangkan saja,
tetapi juga harga faktor-faktor produksi yang digunakan untuk
menghasilkan barang-barang tersebut. Kesimpulan ini sebenarnya merupakan
akibat dari konsepsi mereka mengenai hubungan antara spesialisasi
dengan proporsi faktor-faktor poduksi yang digunakan. Dalam hal-hal
khusus, bahkan tidak mungkin untuk mengenali apakah barang-barang itu
barang-barang padat karya ataukah barang-barang padat modal dipandang
dari dunia seabagai satu keseluruhan. Negara yang memiliki tenaga kerja
relatif banyak mungkin saja mempunyai keuntungan komparatif dalam
barang-barang yang padat modal dan sebaliknya. Karena akibat adanya
perdagangan internasional adalah naiknya harga relatif barang-barang
yang dihasilkan dengan menggunakan prinsip keuntungan komparatif itu dan
dengan demikian juga faktor produksi yang digunakanya secara intensif,
maka akibat pada harga relatif faktor-faktor produksinya mungkin berupa
perubahan yang menuju ke arah yang sama tetapi dapat juga berlawanan,
lagi pula dalam keseimbangan, kedua negara dapat terus menghasilkan
kedua macam barang itu walaupun harga faktor-faktor produksinya
berlainan di kedua negara tersebut.
Pada tahun 1920-an para ahli
ekonomi mulai mempertimbangkan fakta bahwa kebanyakan industri
memperoleh keuntungan dari skala ekonomi (economies of scale) yaitu
dengan semakin besarnya pabrik dan meningkatnya keluaran, biaya produksi
per unit menurun. Ini terjadi karena peralatan yang lebih besar dan
lebih efisien dapat digunakan, sehingga perusahaan dapat memperoleh
potongan harga atas pembelian-
pembelian mereka dengan volume
yang lebih besar dan biaya-biaya tetap seperti biaya penelitian dan
pengembangan sertaoverhead administratif dapat dialokasikan pada
kuantitas keluaran yang lebih besar. Biaya-biaya produksi juga menurun
karena kurva belajar (learning curve). Begitu perusahaan memproduksi
produk lebih banyak, mereka mempelajari cara-cara untuk meningkatkan
efisiensi produksi, yang menyebabkan biaya poduksi berkurang dengan
suatu jumlah yang dapat diperkirakan. Skala ekonomi dan kurva pengalaman
(experience curve) mempengaruhi perdagangan internasional karena
memungkinkan industri-industri suatu negara menjadi produsen biaya
rendah tanpa memiliki faktor-faktor produksi yang berlimpah. Perdagangan
internasional timbul utamanya karena perbedaan-perbedaan harga relatif
diantara negara. Perbedaan- perbedaan ini berasal dari perbedaan dalam
biaya produksi, yang diakibatkan oleh : 1. perbedaan-perbedaan dalam
perolehan atas faktor produksi. 2. Perbedaan-perbedaan dalam tingkat
teknologi yang menentukan intensitas faktor yang digunakan. 3.
Perbedaan-perbedaan dalam efisiensi pemanfaatan faktor-faktor. 4. Kurs
valuta asing. Meskipun demikian perbedaan selera dan variabel pemintaan
dapat membalikkan arah perdagangan. Teori perdagangan internasional
jelas menunjukan bahwa bangsa-bangsa akan memperoleh suatu tingkat
kehidupan yang lebih tinggi dengan melakukan spesialisasi dalam
barang-barang dimana mereka memiliki keunggulan komparatif dan mengimpor
barang-barang yang mempunyai kerugian secara komparatif. Pada umumnya
hambatan-hambatan perdagangan yang memberhentikan mengalirnya
barang-barang dengan bebas akan membahayakan kesejahteraan suatu bangsa.
a.
Pengaruh Positif Perdagangan InternasionalNegara
pengekspor maupun pengimpor mendapatkan keuntungan dari adanya
perdagangan internasional. Negara pengekspor memperoleh pasar dan negara
pengimpor memperoleh kemudahan untuk mendapatkan barang yang
dibutuhkan. Adanya perdagangan internasional juga membawa dampak yang
cukup luas bagi perekonomian suatu negara. Dampak tersebut antara lain
sebagai berikut:
1) Mempererat persahabatan antarbangsa
Perdagangan
antarnegara membuat tiap negara mempunyai rasa saling membutuhkan dan
rasa perlunya persahabatan. Oleh karena itu, perdagangan internasional
dapat mempererat persahabatan negara-negara yang bersangkutan.
2) Menambah kemakmuran negara
Perdagangan
internasional dapat menaikkan pendapatan negara masing-masing. Ini
terjadi karena negara yang kelebihan suatu barang dapat menjualnya ke
negara lain, dan negara yang kekurangan barang dapat membelinya dari
negara yang kelebihan. Dengan meningkatnya pendapatan negara dapat
menambah kemakmuran negara.
3) Menambah kesempatan kerja
Dengan
adanya perdagangan antarnegara, negara pengekspor dapat menambah jumlah
produksi untuk konsumsi luar negeri. Naiknya tingkat produksi ini akan
memperluas kesempatan kerja. Negara pengimpor juga mendapat manfaat,
yaitu tidak perlu memproduksi barang yang dibutuhkan sehingga sumber
daya yang dimiliki dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih
menguntungkan.
4) Mendorong kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Perdagangan
internasional mendorong para produsen untuk meningkatkan mutu hasil
produksinya. Oleh karena itu, persaingan perdagangan internasional
mendorong negara pengekspor untuk meningkatkan ilmu dan teknologinya
agar produknya mempunyai keunggulan dalam bersaing.
5) Sumber pemasukan kas negara
Perdagangan
internasional dapat meningkatkan sumber devisa negara. Bahkan, banyak
negara yang mengandalkan sumber pendapatan dari pajak impor dan ekspor.
6) Menciptakan efisiensi dan spesialisasi
Perdagangan
internasional menciptakan spesialisasi produk. Negara-negara yang
melakukan perdagangan internasional tidak perlu memproduksi semua barang
yang dibutuhkan. Akan tetapi hanya memproduksi barang dan jasa yang
diproduksi secara efisien dibandingkan dengan negara lain.
7) Memungkinkan konsumsi yang lebih luas bagi penduduk suatu negara
Dengan
perdagangan internasional, warga negaranya dapat menikmati
barang-barang dengan kualitas tinggi yang tidak diproduksi di dalam
negeri.
b.
Pengaruh Negatif Perdagangan InternasionalAdanya perdagangan internasional mempunyai dampak negatif bagi negara yang melakukannya. Dampak negatifnya sebagai berikut.
1) Adanya ketergantungan suatu negara terhadap negara lain.
2) Adanya persaingan yang tidak sehat dalam perdagangan internasional.
3) Banyak industri kecil yang kurang mampu bersaing menjadi gulung tikar.
4) Adanya pola konsumsi masyarakat yang meniru konsumsi negara yang lebih maju.
5) Terjadinya kekurangan tabungan masyarakat untuk investasi. Ini terjadi karena masyarakat menjadi konsumtif.
6) Timbulnya penjajahan ekonomi oleh negara yang lebih maju.
Neraca Perdagangan dan Neraca Pembayaran.4 Kebijakan
perdagangan internasional dijadikan alat untuk mencapai kepentingan
nasional terutama dalam bidang ekonomi. Dalam bahasannya, ini lebih
bersifat politis karena penuh dengan muatan-muatan kepentingan yang
kadangkala tidak bersifat ekonomi, misalnya melakukan hubungan
perdagangan dengan negara lain untuk mendekati atau untuk kepentingan
politik tertentu.
Umumnya perdagangan diregulasikan melalui
perjanjian bilateral antara dua negara. Selama berabad-abad dibawah
kepercayaan dalam Merkantilisme kebanyakan negara memiliki tarif tinggi
dan banyak pembatasan dalam perdagangan internasional. pada abad ke 19,
terutama di Britania, ada kepercayaan akan perdagangan bebas menjadi
yang terpenting dan pandangan ini mendominasi pemikiran di antaranegara
barat untuk beberapa waktu sejak itu dimana hal tersebut membawa mereka
ke kemunduran besar Britania. Pada tahun-tahun sejak Perang Dunia II,
perjanjian multilateral kontroversial seperti GATT dab WTO memberikan
usaha untuk membuat regulasi lobal dalam perdagangan internasional.
Kesepakatan perdagangan tersebut kadang-kadang berujung pada protes dan
ketidakpuasan dengan klaim dari perdagangan yang tidak adil yang tidak
menguntungkan secara mutual.
Perdagangan bebas biasanya didukung
dengan kuat oleh sebagian besar negara yang berekonomi kuat, walaupun
mereka kadang-kadang melakukan proteksi selektif untuk industri-industri
yang penting secara strategis seperti proteksi tarif untuk agrikultur
oleh Amerika Serikat dan Eropa. Belanda dan Inggris Raya keduanya
mendukung penuh perdagangan bebas dimana mereka secara ekonomis dominan,
sekarang Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Jepang merupakan
pendukung terbesarnya. Bagaimanapun, banyak negara lain (seperti India,
Rusia, dan Tiongkok) menjadi pendukung perdagangan bebas karena telah
menjadi kuat secara ekonomi. Karena tingkat tarif turun ada juga
keinginan untuk menegosiasikan usaha non tarif, termasuk investasi luar
negri langsung, pembelian, dan fasilitasi perdagangan. Wujud lain dari
biaya transaksi dihubungkan dnegan perdagangan pertemuan dan prosedur
cukai.
Umumnya kepentingan agrikultur biasanya dalam koridor dari
perdagangan bebas dan sektor manufaktur seringnya didukung oleh
proteksi. Ini telah berubah pada beberapa tahun terakhir, bagaimanapun.
Faktanya, lobi agrikultur, khususnya di Amerika Serikat, Eropa dan
Jepang, merupakan penanggung jawab utama untuk peraturan tertentu pada
perjanjian internasional besar yang memungkinkan proteksi lebih dalam
agrikultur dibandingkan kebanyakan barang dan jasa lainnya.
Selama
reses ada seringkali tekanan domestik untuk meningkatkan tarif dalam
rangka memproteksi industri dalam negri. Ini terjadi di seluruh dunia
selama Depresi Besar membuat kolapsnya perdagangan dunia yang dipercaya
memperdalam depresi tersebut.
Ada kebijakan ekonomi yang
diterapkan oleh suatu negara yang merupakan hambatan bagi kelancaran
perdagangan internasional. Misalnya, pembatasan jumlah impor, pungutan
biaya impor/ekspor yang tinggi, perijinan yang berbelit-belit.
Dalam
kenyataannya, kondisi sumber daya suatu Negara sangat menentukan
kebijakan perdagangan internasional, seperti Sumber Daya Manusia (SDM)
antara yang berkualitas dan yang tidak/ kirang berkualitas.
5
Penerapan ACFTA dikhawatirkan menghancurkan industri nasional. Sebab,
tarif bea masuk barang-barang dari Cina ke ASEAN, khususnya Indonesia
menjadi nol persen. Kondisi itu, akan mengancam industri kita karena
produk Cina yang terkenal murah akan menjadi saingan terberat
produkIndonesia .
Tak hanya itu. Penerapan ACFTA juga akan memicu
pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Seperempat dari 30 juta tenaga
kerja akan kehilangan lapangan kerja, yaitu 7,5 juta pekerja, langsung
dikemukakan oleh ketua Asosiasi Penguasa Indonesia.
Pengamat
Ekonomi sempat meminta DPR agar mengajukan hak angket atas penerapan
ACFTA. Menurutnya, nilai kerugian pemberlakuan ACFTA bisa mencapai lebih
dari Rp 6 triliun, alias lebih besar dari kasus Bank Century. Pasalnya
jelas, ratusan ribu pegawai terancam tidak bekerja. Pendapatnya,
harusnya yang seperti ini (ACFTA), yang dijadikan hak angket. Jangan
hanya Century.
Permintaan tersebut direspons DPR. "Kalau ini
(ACFTA) akan mempengaruhi sistem perekonomian dan kepentingan nasional
tak bisa dilindungi, kita (DPR) akan mengarah ke situ (penggunaan hak
angket)," jelas anggota Komisi VI DPR.
Indonesia belum siap
menghadapi perdagangan bebas karena memiliki daya saing yang rendah.
Berdasarkan catatan International Institute for Managemenet Development
dalam World Competitiveness Yearbook 2006-2008, daya Indonesia merosot
ke peringkat 52 dari 55 negara. Bahkan, versi World Economic Forum
menyebutkan daya saing Indonesia berada di peringkat 54, lebih rendah
dari Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Pemerintah harusnya
menegosiasi ulang kesepakatan perdagangan bebas, terutama untuk
sektor-sektor yang belum siap. Pemerintah harus menyiapkan industri
domestik agar bisa lebih kompetitif dengan produk Cina. Termasuk di
antaranya, memberikan kemudahan dalam bentuk pendanaan atau lainnya.
Banyak
pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah guna meningkatkan daya
saing industri ,juga banyak industri—terutama industri tekstil serta
produk tekstil—terancam dengan penerapan ACFTA.
Ketidaksiapan
itu, dapat dilihat dari merosotnya kinerja industri nasional. Hingga
Juli 2009, nilai ekspor industri tekstil sudah merosot sekitar US$ 520
juta. Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia turut menjerit. Sejak
2000, ketika bea masuk masih diberlakukan, industri baja Indonesia terus
mengalami defisit perdagangan karena kalah bersaing dengan produk
impor. Defisit ini dipastikan membengkak, jika bea masuk jadi nol
persen.
Membanjirnya barang-barang impor dari Cina menggembirakan
bagi para konsumen. Kenapa? Selain menambah pilihan harganya juga
terjangkau. Soal kualitas?Mungkin jadi pertimbangan kedua. Lihat saja di
Pasar Pagi Mangga Dua, Jakarta Barat, serta Pasar Tanahabang, Jakarta
Pusat. Sepatu, tas, pakaian, atau kain asal Cina bisa ditemui di sana.
Lantas,
bagaimana produk Cina bisa lebih murah? Menurut Ketua Asosiasi Pemasok
Garmen dan Aksesori Indonesia Poppy Susanti Dharsono, murahnya produk
Cina karena didukung kebijakan pembiayaan perbankan. Pengusaha di Cina,
bisa mendapatkan kredit dengan bunga cuma tiga persen setahun. Di
Indonesia, meski sudah negosiasi, pengusaha menengah besar mendapatkan
kredit dengan bunga 12 persen. Pengusaha menengah kecil justru lebih
besar, 15 persen. Selain itu, Pemerintah Cina berusaha menempatkan diri
sebagai pelayan dengan menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan
industri. Mulai dari pengurusan izin usaha yang diproses dengan mudah
dan cepat. Tidak ketinggalan infrastruktur penunjang guna memacu ekspor,
seperti jalan raya, pelabuhan angkut, dan ketersediaan tenaga listrik.
Di
Cina, hingga 2007, jarak jalan raya untuk lalu lintas yang telah dibuka
totalnya mencapai 3,57 juta kilometer. Sedangkan untuk pelabuhan, Cina
setidaknya memiliki 3.800 pelabuhan angkut, 300 di antaranya dapat
menerima kapal berkapasitas 10.000 megaton. Soal listrik, pada tahun
lalu, Cina kabarnya bakal mengoperasikan PLTA terbesar di dunia yang
mampu menghasilkan tenaga listrik sebesar 84,7 triliun Kwh.Sementara di
Indonesia, panjang jalan raya pada 2007 hanya sekitar 34.000 kilometer.
Dari angka itu, 28 persen di antaranya dinyatakan sangat baik dan lebih
dari 50 persen layak. Selebihnya, dalam keadaan rusak. Ditambah lagi
operasional jalan, harga bahan bakar minyak yang mahal. Belum lagi
listrik yang "byar-pet" menjadi fenomena tersendiri di negeri ini.Dari
sisi produktivitas, satu produk di Indonesia membutuhkan tiga tenaga
kerja dibanding Cina. Soal sumber daya manusia, Cina memang tak
tanggung-tanggung. Sejak 1990-an, Cina telah mengirimkan ribuan tenaga
muda terbaiknya untuk belajar ke beberapa universitas terbaik di Amerika
Serikat, seperti Harvard, Stanford, dan Massachusetts Institute of
Technology, kampusnya para unggulan di Negeri Paman Sam.Tak hanya itu,
Pemerintah Cina juga membujuk para sarjana yang berada di luar negeri
serta profesional, terutama yang sedang dan pernah bekerja di
pusat-pusat riset di bidang teknologi di seluruh dunia, agar mau pulang
kampung. Mereka ditawari untuk membuka perusahaan baru di Cina. Tentu
saja bujukan itu dilakukan dengan iming-iming kemudahan serta fasilitas
untuk memulai usaha, seperti insentif pajak, kemudahan dalam perizinan,
dan suntikan modal. Hal yang tentu kurang atau mungkin sama sekali,
belum dilakukan pemerintah Indonesia.