Pages

pendapatan nasional

Pendapatan Nasional Sejarah Konsep pendapatan nasional pertama kali dicetuskan oleh Sir William Petty dari Inggris yang berusaha menaksir pendapatan nasional negaranya(Inggris) pada tahun 1665

Featured 2

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 3

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 4

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 5

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Sunday 24 July 2005

Harus Jadi Pilihan Akhir

* | bersama Tim Indonesia Bangkit

Akhir-akhir ini, menaikkan harga BBM seakan menjadi satu-satunya alternatif kebijakan yang pantas dilakukan untuk menyelesaikan persoalan APBN. Opini tersebut terbentuk akibat gencarnya kampanye bahwa kasus kelangkaan BBM, meningkatnya konsumsi BBM, tingginya harga minyak dunia dan besarnya beban subsidi BBM hanya dapat diselesaikan dengan menaikkan harga BBM.

Padahal dari pengalaman kenaikan harga BBM pada awal Maret lalu, yang tidak diikuti oleh program anti-kemiskinan yang efektif, kebijakan tersebut jelas telah terbukti berdampak sangat buruk bagi kesejahteraan rakyat. Beban rakyat terus meningkat karena kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Jumlah rakyat miskin terus bertambah dan bahkan di sejumlah daerah, rakyat menderita kekurangan gizi atau busung lapar sehingga daya tahan tubuh rentan terhadap berbagai macam penyakit.

Karena dampak kebijakan yang sangat luas, adalah sebuah keharusan bagi pemerintah untuk menempatkan kenaikan harga BBM sebagai pilihan terakhir, dan bukan sebaliknya, malah menjadikannya sebagai pilihan utama. Apalagi sejumlah anggota Tim Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu samasekali tidak memiliki legitimasi moral untuk mengambil kebijakan tersebut, karena pada masa lalu telah menikmati subsidi triliunan rupiah dari APBN. Sangatlah tidak adil, jika mereka yang telah dan masih menikmati subsidi dari negara secara langsung maupun tidak langsung, sekarang justru harus mengambil kebijakan yang akan membebani rakyat.

Sebagian anggota Tim Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, terutama yang selama ini dikenal pro-kreditor dan lembaga internasional, mengusulkan untuk tidak menaikkan harga BBM, tetapi kembali meningkatkan utang. Alternatif ini menunjukkan tidak adanya kreatifitas dan semakin meningkatkan ketergantungan Indonesia kepada lembaga keuangan internasional.

Beban pemerintah bertambah akibat kenaikan harga minyak dunia?
Salah satu alasan untuk menaikkan harga BBM adalah bertambahnya beban anggaran pemerintah akibat tingginya harga minyak dunia. Alasan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena faktanya neraca minyak bumi dan gas kita secara nasional masih surplus. Indonesia tetap diuntungkan dengan kenaikan harga minyak dunia yaitu dengan adanya tambahan penerimaan dari sektor minyak bumi dan gas.

Untuk neraca pemerintah pusat, memang benar bahwa subsidi BBM mengalami peningkatan akibat kenaikan harga minyak dunia. Tetapi peningkatan subsidi tersebut dapat tertutupi oleh tambahan peningkatan penerimaan pada sektor minyak bumi dan gas yaitu dari penerimaan PPh minyak bumi dan gas dan SDA minyak bumi dan gas. Dengan kenaikan harga minyak dunia dari US$ 40 per barel menjadi US$ 60 per barel, dengan asumsi nilai tukar Rp 9.300 per USD, misalnya, subsidi akan meningkat sebesar Rp 70 triliun, dari Rp 59 triliun menjadi Rp 129 triliun.

Akan tetapi di sisi lain, penerimaan pemerintah dari sektor minyak bumi dan gas juga meningkat sekitar Rp 84 triliun, dari Rp 129 triliun menjadi Rp 213 triliun, yang berarti masih ada selisih antara tambahan penerimaan sektor minyak bumi dan gas dengan tambahan pengeluaran subsidi BBM sekitar Rp 14 triliun.

Pernyataan pemerintah akan semakin terbebani dengan naiknya harga minyak mentah dunia, sama sekali tidak benar karena penerimaan secara nasional ternyata masih surplus. Sayangnya, pernyataan pemerintah selama ini tidak fair karena informasi yang disampaikan kepada masyarakat hanya ditekankan pada sisi peningkatan beban saja tanpa menunjukkan bahwa pemerintah juga mendapatkan tambahan penerimaan, sehingga masalah sesungguhnya terutama terkait dengan manajemen cashflow dan alokasi pengeluaran, bukan kebangkrutan keuangan negara.

Memang benar bahwa selain untuk pembayaran subsidi, pemerintah pusat mempunyai kewajiban lain yaitu membagi peningkatan penerimaan minyak bumi dan gas kepada Pemerintah Daerah melalui kebijakan Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas. Jika formula saat ini digunakan, pembagian Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas memang akan mengakibatkan terjadinya peningkatan defisit dalam perhitungan anggaran. Tetapi perlu dipahami bahwa ”defisit” yang terjadi akibat Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas bukan merupakan kerugian riil pemerintah dan masyarakat karena pada dasarnya secara nasional pemerintah tidak mengalami kerugian. Dengan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas, pada hakekatnya hanya terjadi perubahan pencatatan kegiatan pembangunan dari pemerintah pusat ke Pemerintah Daerah.

Pemerintah pusat saat ini memang memiliki permasalahan cashflow yang akan berdampak pada berbagai permasalahan lain yang cukup serius seperti misalnya dalam penyediaan BBM sehingga mengakibatkan kelangkaan BBM berkepanjangan. Beban berat ini dapat diselesaikan dengan melakukan berbagai langkah kebijakan untuk melakukan burden sharing kepada semua stakeholder baik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, kreditor kalangan bisnis maupun masyarakat luas. Berbagai terobosan yang dapat dilakukan antara lain merubah kebijakan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas, peningkatan penerimaan pajak, upaya peningkatan efisiensi Pertamina, renegosiasi utang luar negeri, dll. Meskipun demikian perlu ditegaskan bahwa berbagai terobosan kebijakan alternatif tersebut harus ditujukan agar tersedia tambahan dana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mempercepat pemulihan ekonomi.

Kampanye yang sangat agresif bahwa menaikkan harga BBM adalah satu-satunya alternatif solusi persoalan APBN justru menunjukkan tidak adanya kreatifitas dan keberanian melawan “conflict of interest” para pejabat, serta tidak adanya keinginan untuk melakukan burden sharing kepada semua stakeholders. Padahal, banyak pekerjaan rumah dan alternatif kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah sebelum mengambil jalan pintas dengan menaikkan harga BBM, antara lain:

1. Reformasi Tata Niaga Minyak Bumi dan Gas: Hapus Brokers Pemburu Rente
Telah menjadi rahasia umum, bahwa proses pengadaan dan distribusi BBM oleh Pertamina sarat dengan KKN dan ketidakefisienan. Selama ini, volume pasokan BBM, baik yang diproduksi oleh kilang dalam negeri maupun yang diimpor, jauh lebih tinggi dibanding jumlah BBM yang benar-benar dikonsumsi oleh masyarakat dan industri.

Kebocoran, inefisiensi dan penyalahgunaan BBM bersubsidi diperkirakan mencapai 25 sampai 30 persen. Jika harga minyak dunia seperti saat ini (sekitar USD 60 per barel) dan asumsi harga minyak Rp 9.300 per USD, sehingga subsidi BBM mencapai Rp 129 triliun, maka kerugian akibat inefisiensi, kebocoran dan penyalahgunaan bisa mencapai sekitar Rp 35 triliun.

Selain dalam distribusi dan Transmisi BBM, sumber ketidakefisienan lain yang nyata-nyata merugikan negara adalah pada proses impor yang masih melalui trading companies (brokers), baik dalam pembelian minyak mentah (368,7 barel per hari) maupun BBM (premium, solar, dan minyak tanah) sebanyak equivalen 210 ribu barel per hari. Keberadaan brokers tersebut sebenarnya telah dihapus pada era pemerintahan Habibie dan Gus Dur, tetapi kembali dihidupkan pada era pemerintahan Megawati.

Saat ini, mekanisme impor melalui brokers tersebut menjadi lebih sulit dihapus karena perusahaan brokers terkait dengan keluarga dan kroni pejabat di pemerintahan. Kerugian negara akibat conflict of interest tersebut dapat dihapuskan jika Presiden mengambil langkah tegas untuk menghapus berbagai praktek pemburu rente dalam industri minyak bumi dan gas.

Selain pemborosan uang negara triliunan rupiah per tahun, mekanisme impor melalui brokers juga memiliki kelemahan lain yaitu hilangnya kesempatan untuk memperoleh kelonggaran dalam jadwal pembayaran. Brokers pemburu rente tersebut nyaris tidak memiliki kredibilitas dan posisi tawar untuk menegosiasikan jangka waktu pembayaran dalam pembelian minyak dan BBM terhadap pemasok besar. Pengadaan BBM selama ini dilakukan secara cash and carry sehingga sangat memberatkan cashflow Pertamina dan Pemerintah serta menekan nilai tukar rupiah seperti yang terjadi saat ini.

Seandainya Pertamina melakukan deal langsung dengan pemasok minyak mentah dan BBM, besar kemungkinan Pertamina akan memperoleh kelonggaran waktu pembayaran minimum 3 bulan atau bahkan lebih. Jika hal ini dilakukan, tekanan terhadap cashflow Pertamina maupun nilai tukar rupiah akan dapat dikurangi.

Di samping itu, terdapat berbagai sumber inefisiensi dan KKN yang harus dihapuskan untuk meningkatkan efisiensi, tata niaga minyak bumi dan gas dan mengurangi pemborosan keuangan negara.

2. Revisi Formula Perhitungan Alokasi Dana Bagi Hasil Minyak Bumi dan Gas
Peningkatan subsidi BBM akibat melonjaknya harga minyak dunia, sebenarnya dapat ditutupi oleh kenaikan penerimaan pemerintahan di sektor minyak bumi dan gas. Misalnya, dengan kenaikan harga minyak dari USD 40 menjadi USD 60 per barel, subsidi meningkat sekitar 70 triliun menjadi Rp 129 triliun.

Akan tetapi di sisi lain, penerimaan pemerintah dari sektor minyak bumi dan gas mengalami peningkatan yang jauh lebih besar yaitu sekitar Rp 84 triliun.
Persoalannya, dengan formula perhitungan Dana Bagi hasil yang ada saat ini, pemerintah masih harus membagi tambahan penerimaan minyak bumi dan gas tersebut kepada Pemerintah Daerah sebesar Rp 16 triliun, sehingga pemerintah pusat akan mengalami tambahan defisit sekitar Rp 2,4 triliun. Formula alokasi Dana Bagi Hasil seperti di atas harus dirubah karena tambahan subsidi BBM seharusnya juga menjadi beban Pemerintah Daerah, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Ada dua cara yang dapat dilakukan dalam merubah perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas yaitu pertama, alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas diperhitungkan berdasarkan dana penerimaan pemerintah di sektor minyak bumi dan gas setelah dikurangi subsidi BBM. Dengan kebijakan ini, perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas masih tetap memperhitungkan fluktuasi harga minyak dunia, akan tetapi dana yang dibagikan adalah dana penerimaan pemerintah setelah dikurangi pengeluaran subsidi. Alternatif kedua adalah dengan mematok (freeze) besarnya alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas. Langkah kebijakan ini dilakukan dengan mengubah cara perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas yang semula mengikuti perubahan harga minyak dunia diganti dengan cara perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas secara tetap (tidak didasarkan pada harga minyak dunia), berapa pun realisasi harga minyak mentah dunia. Sebagai contoh misalnya, untuk APBN-P 2005 besarnya alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas yang dibagikan tetap sebesar perhitungan dalam APBN-P 2005 yang didasarkan pada harga minyak sebesar US$ 35 per barel.

Dengan cara ini defisit pemerintah pusat akan menurun dan ada kelonggaran pemerintah pusat untuk membiayai berbagai program peningkatan kesejahteraan tanpa harus menghilangkan kewajiban pemerintah untuk membagi dana hasil penerimaan minyak bumi dan gas kepada Pemerintah Daerah. Langkah kebijakan ini pun tidak akan merugikan pemerintah dan masyarakat luas karena meskipun Pemerintah Daerah tidak menerima tambahan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas, akan tetapi beban Pemerintah Daerah akibat naiknya harga BBM, misalnya, gejolak sosial dan bertambahnya jumlah masyarakat miskin, dll, dapat dihindari.

3. Melaksanakan Program Anti Kemiskinan yang Efektif
Sampai saat ini Pemerintah belum mengeluarkan dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Padahal draf SNPK sudah berada di kantor BAPPENAS selama 6 bulan lebih. Draft SNPK dibuat secara partisipatif, melalui proses konsultasi dengan masyarakat luas di berbagai Propinsi dan kabupaten. Draf SNPK memuat antara lain perlunya pemerintah Indonesia menyediakan 10 hak dasar warga negara termasuk pangan, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan perumahan. Draf ini juga menekankan pentingnya reorientasi anggaran terutama penajaman alokasi dana dekonsentrasi bagi pemenuhan hak dasar rakyat miskin.

SNPK jelas menuntut pemerintah untuk secara mendasar dan komprehensif menangani masalah kemiskinan. Menjadi pertanyaan mengapa sampai dengan saat ini draf SNPK yang sudah lama sekali berada di BAPPENAS belum juga disahkan. Prioritas pemerintah dan sense of urgency pemerintah untuk menghapuskan kemiskinan perlu dipertanyakan. Kenyataan bahwa sampai saat ini terdapat satu juta anak Indonesia menderita gizi buruk, dan Indonesia kembali terjangkit TBC dan polio merupakan bukti penyelesaian masalah kemiskinan tidak bisa ditunda lagi.

Sunday 10 July 2005

Ketidakberdayaan

*Bisnis Indonesia, 11-12 Jul 2005 | Phone Nuryadin
PEMERINTAH dan Pertamina nyaris saja membuat blunder dengan berencana melakukan pembatasan pasokan BBM. Seandainya benar terjadi, entah bagaimana nasib Bajuri yang mencari makan dari menarik Bajaj. Atau nasib Ucup sang nelayan yang mengandalkan kapal motornya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Besar kemungkinan mereka akan menghabiskan lebih banyak waktu lagi di SPBU hanya untuk mengantri BBM dan bahkan mungkin tidak sempat bekerja samasekali.

Untungnya, Presiden SBY telah mengeluarkan instruksi untuk terus meningkatkan suplai BBM. Harapan Bajuri dan Ucup tentunya, instruksi tersebut didengar dan mampu direalisasikan oleh bawahannya. Meski tidak menyelesaikan persoalan, paling tidak pemerintah tidak semakin menambah persoalan yang telah ada.

Blunder kebijakan memang sangat rawan terjadi ketika persoalan yang dihadapi telah membukit seperti sekarang ini. Pada sektor riil, pengangguran dan kemiskinan terus meningkat. Pada sektor fiskal, pemerintah mengalami persoalan dengan cashflow yang semakin kritis. Sementara stabilitas makroekonomi yang selama ini dibanggakan, kini telah berguguran.

Yang juga perlu disadari adalah berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi saat ini bukan lah persoalan baru yang hanya terjadi seminggu terakhir. Tetapi merupakan persoalan lama yang tak kunjung terselesaikan. Wajar jika akhirnya masyarakat mulai khawatir dan mempertanyakan kemampuan pemerintah mengelola kebijakan ekonomi nasional.

Kekhawatiran tersebut terutama tercermin pada indikator nilai rupiah yang terus terdepresiasi terhadap dolar AS. Memang benar bahwa terjadi peningkatan permintaan dolar dari perusahaan swasta dan Pertamina akhir-akhir ini. Tetapi depresiasi rupiah tidak akan sedrastis sekarang ini (10 persen), jika saja pemerintah menunjukkan kemampuan dalam mengelola dan mengantisipasi persoalan yang ada.


Ketidakberdayaan Mengatisipasi
Perlu diingat, salah satu penyebab krisis ekonomi dan keuangan yang menimpa Indonesia beberapa waktu lalu adalah membludaknya utang swasta yang jatuh tempo pada tahun 1998. Nilai rupiah pada saat itu sempat anjlok mencapai level Rp 16 ribu per USD. Perusahaan swasta akhirnya banyak yang tidak mampu memenuhi kewajiban untuk membayar cicilan utang kepada kreditor.

Solusinya pada saat itu adalah memohon kepada kreditor untuk melakukan restrukturisasi utang, baik melalui Jakarta Initiative Task Force (JITF) maupun melalui negosiasi langsung antara debitor dengan kreditor (bilateral). Proses restrukturisasi tersebut berlangsung mulai tahun 1999 sampai 2001 dan pada umumnya debitor memperoleh waktu penundaan cicilan (grace period) antara 4 sampai 5 tahun.

Dampak kejadian historis tersebut sangatlah jelas. Permintaan dolar tahun ini dipastikan akan mengalami peningkatan yang signifikan. Sebab, sebagian besar waktu penundaan cicilan perusahaan swasta telah berakhir. Hanya yang disayangkan adalah kejadian tersebut gagal diidentifikasi dan diantisipasi oleh pemerintah pada saat ini.

Sama halnya dengan kegagalan pemerintah dalam mengantisipasi kenaikan permintaan dolar oleh Pertamina. Sejak awal tahun, harga minyak telah menunjukkan tren peningkatan yang cukup tinggi. Banyak kalangan, baik di dalam maupun luar negeri, memprediksi harga minyak dunia akan terus meningkat beberapa bulan ke depan. Paling tidak, indikasi harga minyak yang akan melonjak tajam telah mampu dibaca pada saat itu.

Namun pemerintah lagi-lagi gagal mengidentifikasi dan mengelola informasi tersebut menjadi sebuah kebijakan untuk mengantisipasi permintaan dolar yang tinggi dari Pertamina.

Sebulan terakhir, pemerintah baru memberikan reaksi dengan mewajibkan Pertamina untuk melakukan pembelian dolar kepada bank BUMN yang telah ditunjuk pemerintah yaitu Bank Mandiri, BNI dan BRI. Kebijakan tersebut bahkan ternyata kurang efektif karena kebutuhan dolar Pertamina yang relatif besar dan tak terduga.

Rupiah kembali liar!

Juga ketidakberdayaan menyelesaikan
Setelah pemerintah gagal mengantisipasi kenaikan permintaan dolar tahun ini, keadaan memang menjadi semakin rumit, tetapi bukan berarti tanpa solusi. Toh Indonesia masih memiliki cadangan devisa yang cukup besar sekitar USD 36 miliar yang tersimpan di Bank Indonesia dan terus meningkat seiring dengan surplus neraca perdagangan. Instrumen suku bunga pun bahkan masih cukup leluasa untuk digunakan, meski terpaksa harus mengorbankan sedikit sisi ekonomi lainnya.

Sialnya, meski kedua instrumen tersebut telah digunakan, pergerakan rupiah tetap tak terkendali. Padahal ongkos penggunaan instrumen tersebut amatlah mahal. Sampai saat ini, suku bunga telah dinaikkan lebih dari 100 basis poin dari sejak awal tahun. Cadangan devisa yang telah digunakan diperkirakan telah lebih dari USD 3 miliar, termasuk dari penambahan surplus neraca perdagangan.

Biang masalahnya adalah sejak awal tahun 2005, Indonesia sangat miskin berita positif di bidang ekonomi. Publik pertama kali sangat kecewa terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi setelah melewati masa kerja 100 hari. Padahal ekspektasi publik saat itu amat tinggi, paling tidak ada beberapa langkah shock therapy yang bisa dilakukan. Namun faktanya, alih-alih shock therapy, rakyat yang justru harus shock karena tim ekonomi pemerintah sangat minim inisiatif, kecuali konsolidasi, mempelajari kebijakan dan sibuk melakukan rapat.

Demikian juga dengan kekecewaan publik terhadap kegagalan dan keengganan tim ekonomi untuk meminta moratorium utang terkait dengan bencana tsunami Aceh, kekecewaan terhadap kenaikan harga BBM yang tinggi, kekhawatiran akibat terlambatnya pengajuan dan pembahasan APBN-P kepada DPR dan munculnya potensi conflict of interest di dalam tubuh pemerintahan.

Sebaliknya, persoalan demi persoalan justru kemudian bermunculan. Pemerintah mengalami kesulitan cashflow yang cukup kritis. Hal tersebut terindikasi oleh hampir tidak adanya anggaran pembangunan yang telah dibelanjakan, yang telah berdampak pada kontribusi negatif belanja pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi dua kuartal terakhir. Ditambah dengan fakta seretnya pembayaran kewajiban subsidi kepada Pertamina.

Lalu persoalan kelangkaan BBM, ancaman kekurangan pasokan listrik, kasus busung lapar di berbagai daerah, peningkatan pengangguran juga kemudian silih berganti mengisi headline di media cetak maupun elektronik. Parahnya lagi, setiap persoalan tersebut sangat lambat ditindaklanjuti dan sebagian besar malah belum terselesaikan sampai saat ini. Wajar jika akhirnya muncul ketidakpercayaan publik, yang bermuara kepada KETIDAKBERDAYAAN rupiah. Upaya ekstra Bank Indonesia dengan menaikkan suku bunga dan mengucurkan dolar ke pasar seakan menjadi sia-sia.

***

Persoalan kelebihan permintaan dolar sepertinya masih mungkin bisa diatasi dengan berbagai instrumen moneter yang ada, tetapi persoalan persepsi terhadap ketidakberdayaan pemerintah mengelola kebijakan ekonomi relatif sulit dicarikan obatnya. Kecuali, Presiden SBY mau lebih keras “mencambuk” para menterinya.

KEBERDAYAAN tidak hanya dinilai dari kemampuan menyelesaikan persoalan, tetapi juga kemampuan membaca dan mengantisipasinya. Faktanya saat ini, alih-alih mengantisipasi, menyelesaikan persoalan yang ada saja kurang mampu. Lalu apa bedanya pemerintah dengan Bajuri dan Ucup?

Tuesday 5 July 2005

Pengangguran v Kebijakan Ekonomi

*Jawapos, 6 Jul 2005 | Phone Nuryadin
BERITA buruk bidang ekonomi satu bulan terakhir susul menyusul antara kelangkaan BBM, kekurangan gizi, ketidakjelasan cashflow pemerintah, inflasi tinggi, kenaikan suku bunga, dan anjloknya rupiah.

Minggu lalu, BPS kembali menambah daftar tersebut dengan mengumumkan peningkatan angka pengangguran. Antara Agustus 2004 hingga Februari 2005, jumlah pengangguran terbuka meningkat sekitar 600 ribu orang atau 0,4 persen dari angkatan kerja.

Biasanya, berita peningkatan pengangguran di Indonesia kalah bersaing dengan berita melemahnya rupiah atau peningkatan beban anggaran. Reaksi pengambil kebijakan pun relatif biasa.

Paling tidak, selama ini belum pernah ada rapat khusus yang membahas isu pengangguran. Pengangguran hanya menarik untuk dijadikan materi yang dikemas dalam sebuah janji kampanye untuk meraih simpati masyarakat, tetapi tidak menjadi acuan dalam penyusunan dan pengambilan kebijakan.

Rendah, Kualitas Pertumbuhan
Terlepas dari perubahan metodologi dan berbagai kritik terhadap perhitungan data PDB oleh BPS, adalah ironi bahwa peningkatan pengangguran terjadi ketika ekonomi tumbuh hampir setara dengan target pertumbuhan ekonomi pemerintah SBY.

Pada kuartal IV 2004 dan kuartal I 2005, Indonesia berturut-turut mencatat pertumbuhan sekitar 6,7 persen dan 6,4 persen atau rata-rata 6,55 persen. Sementara itu, target pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY sekitar 6,6 persen per tahun.

Jika mengacu pada kecenderungan sebelum krisis, yang setiap satu persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap 400 ribu tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi enam bulan terakhir seharusnya mampu menyerap seluruh tambahan angkatan kerja baru. Bahkan, seharusnya terjadi penciptaan lapangan kerja tambahan sekitar 120 ribu orang per tahun.

Namun faktanya, pertumbuhan tinggi sekitar 6,55 persen selama dua kuartal terakhir ternyata tidak diikuti pengurangan pengangguran. Padahal, itu merupakan indikator ekonomi paling penting bagi sebuah bangsa.

Target kuantitatif pertumbuhan telah tercapai, tetapi belum ada tanda-tanda persoalan ekonomi, seperti kemiskinan, pengangguran, akan terselesaikan. Alih-alih mampu menyelesaikan persoalan, yang terjadi justru sebaliknya. Pengangguran semakin meningkat.

Fenomena tersebut memberikan gambaran bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi selama ini masih sangat rendah. Selama lima tahun terakhir misalnya, pada setiap satu persen pertumbuhan ekonomi, jumlah lapangan kerja yang tercipta hanya sekitar 250 ribu orang per tahun, lebih rendah dari kemampuan penciptaan lapangan kerja sebelum krisis yang mencapai 400 ribu orang.

Selain itu, fenomena tersebut juga memberi indikasi telah terjadi inequality dampak pertumbuhan terhadap kesejahteraan masyarakat. Ekonomi secara agregat memang meningkat, tetapi peningkatan tersebut tidak dialami seluruh masyarakat, melainkan hanya dialami sekelompok masyarakat tertentu.

Perlu Perubahan kebijakan
Rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi sebenarnya dapat diprediksi sejak awal. Pernyataan BPS bahwa pengangguran meningkat karena investasi belum menyentuh pada kegiatan padat karya (labor intensive) mungkin benar.

Tetapi, hal paling fundamental atas semua itu adalah arah kebijakan ekonomi yang masih menganut kebijakan pemerintahan sebelumnya, yang cenderung fokus pada upaya menstabilkan indikator makroekonomi, seperti inflasi, suku bunga, nilai tukar, dan mengurangi defisit anggaran. Terlepas dari fakta pemerintah saat ini gagal menstabilkan makroekonomi, arah kebijakan seperti itu menaifkan persoalan utama bangsa, yaitu pengangguran dan kemiskinan.

Di negara mana pun, stabilitas makroekonomi hanya merupakan "sasaran antara" dan bukan sasaran akhir. Pemerintah boleh saja berupaya menstabilkan makroekonomi, tetapi tidak lantas mengesampingkan kemiskinan dan pengangguran.

Kekeliruan arah kebijakan ekonomi sebenarnya telah dianut pemerintah sejak era Megawati, namun sempat diluruskan kembali oleh Presiden SBY dalam visi-misinya. Presiden SBY memberikan garis yang jelas pada upaya memberdayakan ekonomi pedesaan, pertanian, dan UKM. Bahkan, hingga saat ini garis kebijakan tersebut seringkali dipertegas oleh Presiden SBY dalam berbagai pernyataan di media.

Hanya sayang, visi misi tersebut tidak terimplementasikan dalam kebijakan dan tindakan tim ekonomi kabinet. Tim ekonomi malah jelas-jelas berencana meneruskan kebijakan ekonomi pemerintahan sebelumnya, yang kembali fokus pada stabilitas makroekonomi.

Konsentrasi pengambil kebijakan ekonomi pun cenderung pada upaya memoles indikator makroekonomi dan proyek infrastruktur yang relatif lebih bernuansa promosi kebijakan. Sebaliknya, jarang sekali ada pembahasan bagaimana mengoptimalkan anggaran untuk memberi stimulus kepada ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Bagaimana menggunakan indikator makroekonomi untuk membuka lapangan kerja lebih luas. Bagaimana membangun infrastruktur di pedesaan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin di pedesaan.

Sekaranglah saatnya bagi pemerintah untuk melakukan koreksi dan perubahan strategi kebijakan ekonomi, yang mengarah kepada perbaikan kuantitas sekaligus kualitas ekonomi. Jika tidak, bukan tidak mungkin ekonomi Indonesia 2009 hanya akan berprestasi di angka-angka, tetapi tidak pada kesejahteraan rakyat.