Pages

pendapatan nasional

Pendapatan Nasional Sejarah Konsep pendapatan nasional pertama kali dicetuskan oleh Sir William Petty dari Inggris yang berusaha menaksir pendapatan nasional negaranya(Inggris) pada tahun 1665

Featured 2

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 3

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 4

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 5

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Thursday 17 November 2005

Babak Baru Kesulitan Ekonomi

*Jawapos, 18 Nov 2005|Phone Nuryadin
Tahun 2005 yang seharusnya menjadi tahun kebangkitan ekonomi nasional ternyata harus dilewati bangsa dengan berbagai cobaan. Kenaikan harga BBM yang sangat tinggi, kelangkaan BBM dan kebutuhan pokok, serta depresiasi rupiah dan inflasi tinggi telah berdampak buruk pada menurunnya kesejahteraan rakyat dan meningkatnya kemiskinan.

Konon, rentetan beban di atas muncul lantaran pemerintah sangat ragu-ragu dalam mengambil kebijakan menaikkan harga BBM. Namun bulan lalu, pemerintah akhirnya memutuskan kenaikan harga BBM secara rata-rata mencapai 114 persen, yang kemudian disusul dengan kebijakan Bank Indonesia menaikkan suku bunga.

Pemerintah pun melalui ekonom pendukungnya sangat aktif memberikan kesan bahwa kombinasi kedua kebijakan tersebut berhasil mendorong ekonomi menuju kestabilan dan mengakhiri masa sulit yang dihadapi bangsa. Benarkah?

Keliru Interpretasi
Ceroboh jika dikatakan bahwa kurs rupiah yang stabil menjelang Lebaran serta over-subscribe penjualan obligasi pemerintah dan penurunan penjualan BBM oleh Pertamina merupakan sinyal perbaikan ekonomi menyusul kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM.

Perlu dipahami, kurs rupiah yang stabil menjelang Lebaran merupakan fenomena yang lumrah terjadi sejak beberapa tahun belakangan. Para pemilik uang biasanya menarik dana yang relatif besar dari luar negeri untuk membayar tunjangan hari raya (THR) sehingga sangat membantu keseimbangan nilai tukar rupiah. Dampak kenaikan harga BBM terhadap rupiah yang sesungguhnya baru dapat dilihat pada beberapa minggu setelah Lebaran.

Namun, logikanya, dengan inflasi yang meroket di tengah fundamental ekonomi yang semakin rapuh, sulit berharap rupiah akan menguat atau bahkan stabil. Apalagi pada akhir tahun, akan ada permintaan dolar yang cukup tinggi sehubungan dengan banyaknya utang swasta yang jatuh tempo.

Demikian juga, over-subscribe dalam penawaran obligasi pemerintah seharusnya bukan merupakan sesuatu yang perlu dibanggakan karena memang yield yang ditawarkan pemerintah cukup menggiurkan investor. Wajar jika akhirnya investor berbondong-bondong melakukan penawaran.

Interpretasi lain yang juga sangat ceroboh adalah terhadap fakta menurunnya penjualan BBM oleh Pertamina sekitar 27 persen, antara beberapa waktu sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM. Penurunan yang signifikan tersebut telah diklaim sebagai efektifnya kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dalam upaya menghemat penggunaan energi nasional.

Padahal, seperti diketahui, beberapa waktu sebelum kenaikan harga BBM, permintaan BBM melonjak tajam karena ulah para spekulan yang menimbun BBM. Jika setelah kenaikan harga terjadi penurunan penjualan dari Pertamina, tentu tidak lantas konsumsi BBM dikatakan telah menurun karena masyarakat masih harus mengonsumsi stok yang ada.

Kesulitan Babak Kedua
Terlepas dari berbagai kekeliruan di atas, kesimpulan bahwa telah terjadi perbaikan ekonomi setelah kenaikan harga BBM dan suku bunga hanya merupakan upaya Tim Ekonomi Kabinet untuk membenarkan pilihan kebijakan yang telah diambil. Padahal, alih-alih membaik, ekonomi justru saat ini mulai menunjukkan tanda-tanda akan memasuki periode kesulitan yang baru.

Inflasi Oktober 2005 sekitar 17,9 persen, yang jauh melebihi ekspektasi pemerintah, ekonom, dan bahkan Bank Indonesia, merupakan sinyal buruk akan terjadinya persoalan baru di sektor riil dan moneter. Memang inflasi bulan ini mungkin saja menurun. Tetapi, penurunannya tidak akan signifikan, yaitu sekitar 1-2 persen, sebagai koreksi terhadap berakhirnya Lebaran.

Dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Selain harus menanggung beban yang berat dengan kenaikan biaya transportasi, masyarakat juga harus menanggung kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya. Daya beli masyarakat terus merosot tajam dan hanya akan tertolong jika terjadi penyesuaian penghasilan atau gaji.

Sialnya, industri juga mengalami pukulan berat, bahkan dari dua sisi sekaligus, yaitu peningkatan biaya modal (cost of fund) dan biaya produksi. Peningkatan biaya modal diakibatkan semakin tingginya tingkat suku bunga sehingga menambah beban cicilan utang yang harus dibayar. Sementara biaya produksi praktis meningkat seiring dengan semakin tingginya harga BBM dan harga bahan baku lainnya.

Karena itu, jangankan menaikkan gaji, menanggung tambahan biaya operasional dan biaya modal saja tidak mampu. Isu bahwa akan ada ratusan perusahaan yang menghentikan aktivitas setelah kenaikan harga BBM sangat berpotensi menjadi kenyataan.

Di sisi lain, perbankan juga akan mengalami tekanan yang tidak kalah beratnya. NPL pada kuartal ketiga 2005 yang telah cukup mengkhawatirkan sekitar 8,9 persen dipastikan akan semakin meningkat. Permintaan kredit pun cenderung akan menurun. Kredit konsumsi, misalnya, akan turun tajam dengan fakta bahwa penjualan mobil menurun 31 persen (year on year) pada Oktober 2005.

Singkatnya, pengelolaan ekonomi yang semrawut dan penyelesaian persoalan yang sering dadakan selama setahun terakhir tidak hanya telah menjadi beban masyarakat sepanjang tahun, tetapi juga telah mengantarkan Indonesia memasuki babak baru kesulitan ekonomi.

Koreksi minor kabinet yang dijanjikan Presiden SBY sangat dikhawatirkan hanya cukup untuk memberikan kesan perubahan. Tetapi, tidak mengoreksi berbagai kesemrawutan dalam pengambilan kebijakan selama ini dan mengakhiri beban rakyat yang semakin berat pada tahun mendatang.

Friday 19 August 2005

Optimisme Tanpa Landasan

*Jawapos, 20 Aug 2005|Phone Nuryadin
Siapapun harusnya tak punya nyali untuk optimis melihat perkembangan ekonomi selama 10 bulan terakhir. Dari sudut pandang manapun, nyaris tidak ada indikator yang menunjukkan bahwa ekonomi telah dan akan membaik. Sebut saja tiga indikator utama yaitu pengangguran, inflasi dan pertumbuhan ekonomi, semuanya menunjukkan kecenderungan kinerja yang terus memburuk.

Namun Tim Ekonomi pemerintah rupanya memiliki cara pandang berbeda untuk bisa optimis dan menepuk dada. Dalam teks pidato Presiden SBY di depan anggota DPR selasa lalu, dituliskan bahwa dalam 10 bulan pertama, pemerintah telah mencatat perkembangan ekonomi yang cukup baik. Pertumbuhan ekonomi pun, katanya, pada semester pertama 2005 telah mengalami peningkatan dan cenderung berimbang karena juga dimotori oleh investasi.

Memang, optimisme pemerintah adalah sesuatu yang wajar dan malah sangat dibenarkan oleh prinsip self fulfilling prophecy. Tetapi optimisme dengan landasan yang rapuh atau bahkan tanpa landasan justru sangat berbahaya bagi perekonomian. Selain pemerintah akan dianggap tidak mengerti permasalahan, optimisme tersebut juga berpotensi menimbulkan kesalahan dalam mendiagnosa persoalan dan mencari alternatif solusi kebijakan.

Ada sejumlah fakta yang harusnya diungkap secara jujur dalam menilai kinerja ekonomi selama 10 bulan terakhir dan menganalisa prospek ke depannya.

Pertama, fakta bahwa konsumsi swasta yang tumbuh sangat rendah. Konsumsi swasta merupakan komponen utama ekonomi, yang menyumbang sekitar dua per tiga dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tiga kuartal terakhir pemerintahan Megawati, pertumbuhan konsumsi swasta secara rata-rata telah mencapai 5,4 persen. Namun selama pemerintahan SBY-JK, pertumbuhan konsumsi swasta kembali turun dan secara rata-rata hanya mencapai 3,5 persen.

Lebih jauh lagi, konsumsi yang mengalami perlambatan didominasi oleh konsumsi non-makanan, yang tumbuh hanya separuh dari pertumbuhan pada era pemerintahan Megawati. Perlambatan konsumsi jenis ini merupakan indikasi menurunnya daya beli dan kegamangan masyarakat terhadap nasib ekonomi dan penghasilan mereka ke depan.

Pada beberapa kuartal ke depan, pertumbuhan konsumsi swasta malah diperkirakan masih akan mendapat tekanan, dengan semakin terdepresiasinya rupiah, inflasi dan suku bunga yang tinggi serta adanya rencana pemerintah untuk kembali memotong subsidi BBM.

Kedua, fakta bahwa kinerja investasi yang terus memburuk. Pada akhir pemerintahan Megawati, atau tepatnya pada kuartal ketiga 2004, investasi mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi sekitar 19,7 persen. Tetapi selama tiga kuartal pemerintahan SBY-JK, pertumbuhan investasi secara konsisten terus mengalami penurunan menjadi berturut-turut hanya sekitar 18,3 persen, 14,1 persen dan 13,2 persen.

Ironisnya, perlambatan investasi tersebut terutama disebabkan oleh melambatnya aliran investasi dari luar negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa keyakinan investor asing yang cukup tinggi menjelang terpilihnya SBY sebagai Presiden, perlahan telah mulai anjlok. Fakta tersebut malah sangat bertolak belakang dengan klaim tim ekonomi yang katanya telah berhasil menarik investasi asing.

Demikian juga dengan pernyataan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berimbang dan berkesinambungan karena telah didorong oleh investasi, samasekali tidak tepat. Kontribusi investasi dalam pertumbuhan ekonomi memang terkesan lebih tinggi. Tetapi hal tersebut lebih banyak disebabkan oleh penurunan pertumbuhan konsumsi swasta dan bukan karena peningkatan pertumbuhan investasi yang signifikan.

Ketiga, fakta bahwa belanja pemerintah yang berkontribusi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Belanja pemerintah telah mengalami pertumbuhan negatif selama setahun terakhir. Seharusnya, ketika konsumsi swasta dan investasi mengalami gangguan, belanja pemerintah lah yang diharapkan berperan memberikan stimulus kepada perekonomian.

Namun entah disengaja atau tidak, tim ekonomi malah hanya fokus pada upaya menurunkan defisit APBN, dan mengabaikan fungsi utama APBN sebagai pendorong ekonomi. Parahnya lagi, hal tersebut tidak hanya terjadi pada APBN 2005, tetapi kembali berulang pada RAPBN 2006 seperti yang disampaikan Presiden SBY dalam pidato kenegaraan. Upaya untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan samasekali tidak tercermin pada rencana anggaran tersebut.

Keempat, fakta bahwa kondisi moneter yang semakin menganggu ekonomi riil. Depresiasi rupiah dan tekanan inflasi yang tinggi telah mendorong Bank Indonesia menaikkan suku bunga SBI secara signifikan. Kenaikan suku bunga SBI pada gilirannya juga akan meningkatkan suku bunga kredit, sehingga akan berpengaruh buruk terhadap kinerja sektor riil.

Suku bunga pasar uang antar bank pada awal Agustus lalu bahkan sempat menyentuh level 40 persen. Fakta ini harus menjadi catatan khusus bagi tim ekonomi, karena gejala yang sama juga terjadi pada awal krisis ekonomi tahun 1997, yang telah menyebabkan rontoknya industri perbankan nasional.

***

Berbagai fakta di atas justru merupakan indikasi ekonomi yang tengah bermasalah dan bahkan telah dapat dikategorikan berada pada lampu kuning. Tetapi jika gejala tersebut terus menerus gagal diidentifikasi lantaran optimisme yang belebihan, harapan untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan beberapa tahun ke depan dipastikan hanya akan menjadi mimpi belaka.

Sunday 24 July 2005

Harus Jadi Pilihan Akhir

* | bersama Tim Indonesia Bangkit

Akhir-akhir ini, menaikkan harga BBM seakan menjadi satu-satunya alternatif kebijakan yang pantas dilakukan untuk menyelesaikan persoalan APBN. Opini tersebut terbentuk akibat gencarnya kampanye bahwa kasus kelangkaan BBM, meningkatnya konsumsi BBM, tingginya harga minyak dunia dan besarnya beban subsidi BBM hanya dapat diselesaikan dengan menaikkan harga BBM.

Padahal dari pengalaman kenaikan harga BBM pada awal Maret lalu, yang tidak diikuti oleh program anti-kemiskinan yang efektif, kebijakan tersebut jelas telah terbukti berdampak sangat buruk bagi kesejahteraan rakyat. Beban rakyat terus meningkat karena kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Jumlah rakyat miskin terus bertambah dan bahkan di sejumlah daerah, rakyat menderita kekurangan gizi atau busung lapar sehingga daya tahan tubuh rentan terhadap berbagai macam penyakit.

Karena dampak kebijakan yang sangat luas, adalah sebuah keharusan bagi pemerintah untuk menempatkan kenaikan harga BBM sebagai pilihan terakhir, dan bukan sebaliknya, malah menjadikannya sebagai pilihan utama. Apalagi sejumlah anggota Tim Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu samasekali tidak memiliki legitimasi moral untuk mengambil kebijakan tersebut, karena pada masa lalu telah menikmati subsidi triliunan rupiah dari APBN. Sangatlah tidak adil, jika mereka yang telah dan masih menikmati subsidi dari negara secara langsung maupun tidak langsung, sekarang justru harus mengambil kebijakan yang akan membebani rakyat.

Sebagian anggota Tim Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, terutama yang selama ini dikenal pro-kreditor dan lembaga internasional, mengusulkan untuk tidak menaikkan harga BBM, tetapi kembali meningkatkan utang. Alternatif ini menunjukkan tidak adanya kreatifitas dan semakin meningkatkan ketergantungan Indonesia kepada lembaga keuangan internasional.

Beban pemerintah bertambah akibat kenaikan harga minyak dunia?
Salah satu alasan untuk menaikkan harga BBM adalah bertambahnya beban anggaran pemerintah akibat tingginya harga minyak dunia. Alasan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena faktanya neraca minyak bumi dan gas kita secara nasional masih surplus. Indonesia tetap diuntungkan dengan kenaikan harga minyak dunia yaitu dengan adanya tambahan penerimaan dari sektor minyak bumi dan gas.

Untuk neraca pemerintah pusat, memang benar bahwa subsidi BBM mengalami peningkatan akibat kenaikan harga minyak dunia. Tetapi peningkatan subsidi tersebut dapat tertutupi oleh tambahan peningkatan penerimaan pada sektor minyak bumi dan gas yaitu dari penerimaan PPh minyak bumi dan gas dan SDA minyak bumi dan gas. Dengan kenaikan harga minyak dunia dari US$ 40 per barel menjadi US$ 60 per barel, dengan asumsi nilai tukar Rp 9.300 per USD, misalnya, subsidi akan meningkat sebesar Rp 70 triliun, dari Rp 59 triliun menjadi Rp 129 triliun.

Akan tetapi di sisi lain, penerimaan pemerintah dari sektor minyak bumi dan gas juga meningkat sekitar Rp 84 triliun, dari Rp 129 triliun menjadi Rp 213 triliun, yang berarti masih ada selisih antara tambahan penerimaan sektor minyak bumi dan gas dengan tambahan pengeluaran subsidi BBM sekitar Rp 14 triliun.

Pernyataan pemerintah akan semakin terbebani dengan naiknya harga minyak mentah dunia, sama sekali tidak benar karena penerimaan secara nasional ternyata masih surplus. Sayangnya, pernyataan pemerintah selama ini tidak fair karena informasi yang disampaikan kepada masyarakat hanya ditekankan pada sisi peningkatan beban saja tanpa menunjukkan bahwa pemerintah juga mendapatkan tambahan penerimaan, sehingga masalah sesungguhnya terutama terkait dengan manajemen cashflow dan alokasi pengeluaran, bukan kebangkrutan keuangan negara.

Memang benar bahwa selain untuk pembayaran subsidi, pemerintah pusat mempunyai kewajiban lain yaitu membagi peningkatan penerimaan minyak bumi dan gas kepada Pemerintah Daerah melalui kebijakan Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas. Jika formula saat ini digunakan, pembagian Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas memang akan mengakibatkan terjadinya peningkatan defisit dalam perhitungan anggaran. Tetapi perlu dipahami bahwa ”defisit” yang terjadi akibat Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas bukan merupakan kerugian riil pemerintah dan masyarakat karena pada dasarnya secara nasional pemerintah tidak mengalami kerugian. Dengan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas, pada hakekatnya hanya terjadi perubahan pencatatan kegiatan pembangunan dari pemerintah pusat ke Pemerintah Daerah.

Pemerintah pusat saat ini memang memiliki permasalahan cashflow yang akan berdampak pada berbagai permasalahan lain yang cukup serius seperti misalnya dalam penyediaan BBM sehingga mengakibatkan kelangkaan BBM berkepanjangan. Beban berat ini dapat diselesaikan dengan melakukan berbagai langkah kebijakan untuk melakukan burden sharing kepada semua stakeholder baik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, kreditor kalangan bisnis maupun masyarakat luas. Berbagai terobosan yang dapat dilakukan antara lain merubah kebijakan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas, peningkatan penerimaan pajak, upaya peningkatan efisiensi Pertamina, renegosiasi utang luar negeri, dll. Meskipun demikian perlu ditegaskan bahwa berbagai terobosan kebijakan alternatif tersebut harus ditujukan agar tersedia tambahan dana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mempercepat pemulihan ekonomi.

Kampanye yang sangat agresif bahwa menaikkan harga BBM adalah satu-satunya alternatif solusi persoalan APBN justru menunjukkan tidak adanya kreatifitas dan keberanian melawan “conflict of interest” para pejabat, serta tidak adanya keinginan untuk melakukan burden sharing kepada semua stakeholders. Padahal, banyak pekerjaan rumah dan alternatif kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah sebelum mengambil jalan pintas dengan menaikkan harga BBM, antara lain:

1. Reformasi Tata Niaga Minyak Bumi dan Gas: Hapus Brokers Pemburu Rente
Telah menjadi rahasia umum, bahwa proses pengadaan dan distribusi BBM oleh Pertamina sarat dengan KKN dan ketidakefisienan. Selama ini, volume pasokan BBM, baik yang diproduksi oleh kilang dalam negeri maupun yang diimpor, jauh lebih tinggi dibanding jumlah BBM yang benar-benar dikonsumsi oleh masyarakat dan industri.

Kebocoran, inefisiensi dan penyalahgunaan BBM bersubsidi diperkirakan mencapai 25 sampai 30 persen. Jika harga minyak dunia seperti saat ini (sekitar USD 60 per barel) dan asumsi harga minyak Rp 9.300 per USD, sehingga subsidi BBM mencapai Rp 129 triliun, maka kerugian akibat inefisiensi, kebocoran dan penyalahgunaan bisa mencapai sekitar Rp 35 triliun.

Selain dalam distribusi dan Transmisi BBM, sumber ketidakefisienan lain yang nyata-nyata merugikan negara adalah pada proses impor yang masih melalui trading companies (brokers), baik dalam pembelian minyak mentah (368,7 barel per hari) maupun BBM (premium, solar, dan minyak tanah) sebanyak equivalen 210 ribu barel per hari. Keberadaan brokers tersebut sebenarnya telah dihapus pada era pemerintahan Habibie dan Gus Dur, tetapi kembali dihidupkan pada era pemerintahan Megawati.

Saat ini, mekanisme impor melalui brokers tersebut menjadi lebih sulit dihapus karena perusahaan brokers terkait dengan keluarga dan kroni pejabat di pemerintahan. Kerugian negara akibat conflict of interest tersebut dapat dihapuskan jika Presiden mengambil langkah tegas untuk menghapus berbagai praktek pemburu rente dalam industri minyak bumi dan gas.

Selain pemborosan uang negara triliunan rupiah per tahun, mekanisme impor melalui brokers juga memiliki kelemahan lain yaitu hilangnya kesempatan untuk memperoleh kelonggaran dalam jadwal pembayaran. Brokers pemburu rente tersebut nyaris tidak memiliki kredibilitas dan posisi tawar untuk menegosiasikan jangka waktu pembayaran dalam pembelian minyak dan BBM terhadap pemasok besar. Pengadaan BBM selama ini dilakukan secara cash and carry sehingga sangat memberatkan cashflow Pertamina dan Pemerintah serta menekan nilai tukar rupiah seperti yang terjadi saat ini.

Seandainya Pertamina melakukan deal langsung dengan pemasok minyak mentah dan BBM, besar kemungkinan Pertamina akan memperoleh kelonggaran waktu pembayaran minimum 3 bulan atau bahkan lebih. Jika hal ini dilakukan, tekanan terhadap cashflow Pertamina maupun nilai tukar rupiah akan dapat dikurangi.

Di samping itu, terdapat berbagai sumber inefisiensi dan KKN yang harus dihapuskan untuk meningkatkan efisiensi, tata niaga minyak bumi dan gas dan mengurangi pemborosan keuangan negara.

2. Revisi Formula Perhitungan Alokasi Dana Bagi Hasil Minyak Bumi dan Gas
Peningkatan subsidi BBM akibat melonjaknya harga minyak dunia, sebenarnya dapat ditutupi oleh kenaikan penerimaan pemerintahan di sektor minyak bumi dan gas. Misalnya, dengan kenaikan harga minyak dari USD 40 menjadi USD 60 per barel, subsidi meningkat sekitar 70 triliun menjadi Rp 129 triliun.

Akan tetapi di sisi lain, penerimaan pemerintah dari sektor minyak bumi dan gas mengalami peningkatan yang jauh lebih besar yaitu sekitar Rp 84 triliun.
Persoalannya, dengan formula perhitungan Dana Bagi hasil yang ada saat ini, pemerintah masih harus membagi tambahan penerimaan minyak bumi dan gas tersebut kepada Pemerintah Daerah sebesar Rp 16 triliun, sehingga pemerintah pusat akan mengalami tambahan defisit sekitar Rp 2,4 triliun. Formula alokasi Dana Bagi Hasil seperti di atas harus dirubah karena tambahan subsidi BBM seharusnya juga menjadi beban Pemerintah Daerah, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Ada dua cara yang dapat dilakukan dalam merubah perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas yaitu pertama, alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas diperhitungkan berdasarkan dana penerimaan pemerintah di sektor minyak bumi dan gas setelah dikurangi subsidi BBM. Dengan kebijakan ini, perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas masih tetap memperhitungkan fluktuasi harga minyak dunia, akan tetapi dana yang dibagikan adalah dana penerimaan pemerintah setelah dikurangi pengeluaran subsidi. Alternatif kedua adalah dengan mematok (freeze) besarnya alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas. Langkah kebijakan ini dilakukan dengan mengubah cara perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas yang semula mengikuti perubahan harga minyak dunia diganti dengan cara perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas secara tetap (tidak didasarkan pada harga minyak dunia), berapa pun realisasi harga minyak mentah dunia. Sebagai contoh misalnya, untuk APBN-P 2005 besarnya alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas yang dibagikan tetap sebesar perhitungan dalam APBN-P 2005 yang didasarkan pada harga minyak sebesar US$ 35 per barel.

Dengan cara ini defisit pemerintah pusat akan menurun dan ada kelonggaran pemerintah pusat untuk membiayai berbagai program peningkatan kesejahteraan tanpa harus menghilangkan kewajiban pemerintah untuk membagi dana hasil penerimaan minyak bumi dan gas kepada Pemerintah Daerah. Langkah kebijakan ini pun tidak akan merugikan pemerintah dan masyarakat luas karena meskipun Pemerintah Daerah tidak menerima tambahan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas, akan tetapi beban Pemerintah Daerah akibat naiknya harga BBM, misalnya, gejolak sosial dan bertambahnya jumlah masyarakat miskin, dll, dapat dihindari.

3. Melaksanakan Program Anti Kemiskinan yang Efektif
Sampai saat ini Pemerintah belum mengeluarkan dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Padahal draf SNPK sudah berada di kantor BAPPENAS selama 6 bulan lebih. Draft SNPK dibuat secara partisipatif, melalui proses konsultasi dengan masyarakat luas di berbagai Propinsi dan kabupaten. Draf SNPK memuat antara lain perlunya pemerintah Indonesia menyediakan 10 hak dasar warga negara termasuk pangan, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan perumahan. Draf ini juga menekankan pentingnya reorientasi anggaran terutama penajaman alokasi dana dekonsentrasi bagi pemenuhan hak dasar rakyat miskin.

SNPK jelas menuntut pemerintah untuk secara mendasar dan komprehensif menangani masalah kemiskinan. Menjadi pertanyaan mengapa sampai dengan saat ini draf SNPK yang sudah lama sekali berada di BAPPENAS belum juga disahkan. Prioritas pemerintah dan sense of urgency pemerintah untuk menghapuskan kemiskinan perlu dipertanyakan. Kenyataan bahwa sampai saat ini terdapat satu juta anak Indonesia menderita gizi buruk, dan Indonesia kembali terjangkit TBC dan polio merupakan bukti penyelesaian masalah kemiskinan tidak bisa ditunda lagi.

Sunday 10 July 2005

Ketidakberdayaan

*Bisnis Indonesia, 11-12 Jul 2005 | Phone Nuryadin
PEMERINTAH dan Pertamina nyaris saja membuat blunder dengan berencana melakukan pembatasan pasokan BBM. Seandainya benar terjadi, entah bagaimana nasib Bajuri yang mencari makan dari menarik Bajaj. Atau nasib Ucup sang nelayan yang mengandalkan kapal motornya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Besar kemungkinan mereka akan menghabiskan lebih banyak waktu lagi di SPBU hanya untuk mengantri BBM dan bahkan mungkin tidak sempat bekerja samasekali.

Untungnya, Presiden SBY telah mengeluarkan instruksi untuk terus meningkatkan suplai BBM. Harapan Bajuri dan Ucup tentunya, instruksi tersebut didengar dan mampu direalisasikan oleh bawahannya. Meski tidak menyelesaikan persoalan, paling tidak pemerintah tidak semakin menambah persoalan yang telah ada.

Blunder kebijakan memang sangat rawan terjadi ketika persoalan yang dihadapi telah membukit seperti sekarang ini. Pada sektor riil, pengangguran dan kemiskinan terus meningkat. Pada sektor fiskal, pemerintah mengalami persoalan dengan cashflow yang semakin kritis. Sementara stabilitas makroekonomi yang selama ini dibanggakan, kini telah berguguran.

Yang juga perlu disadari adalah berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi saat ini bukan lah persoalan baru yang hanya terjadi seminggu terakhir. Tetapi merupakan persoalan lama yang tak kunjung terselesaikan. Wajar jika akhirnya masyarakat mulai khawatir dan mempertanyakan kemampuan pemerintah mengelola kebijakan ekonomi nasional.

Kekhawatiran tersebut terutama tercermin pada indikator nilai rupiah yang terus terdepresiasi terhadap dolar AS. Memang benar bahwa terjadi peningkatan permintaan dolar dari perusahaan swasta dan Pertamina akhir-akhir ini. Tetapi depresiasi rupiah tidak akan sedrastis sekarang ini (10 persen), jika saja pemerintah menunjukkan kemampuan dalam mengelola dan mengantisipasi persoalan yang ada.


Ketidakberdayaan Mengatisipasi
Perlu diingat, salah satu penyebab krisis ekonomi dan keuangan yang menimpa Indonesia beberapa waktu lalu adalah membludaknya utang swasta yang jatuh tempo pada tahun 1998. Nilai rupiah pada saat itu sempat anjlok mencapai level Rp 16 ribu per USD. Perusahaan swasta akhirnya banyak yang tidak mampu memenuhi kewajiban untuk membayar cicilan utang kepada kreditor.

Solusinya pada saat itu adalah memohon kepada kreditor untuk melakukan restrukturisasi utang, baik melalui Jakarta Initiative Task Force (JITF) maupun melalui negosiasi langsung antara debitor dengan kreditor (bilateral). Proses restrukturisasi tersebut berlangsung mulai tahun 1999 sampai 2001 dan pada umumnya debitor memperoleh waktu penundaan cicilan (grace period) antara 4 sampai 5 tahun.

Dampak kejadian historis tersebut sangatlah jelas. Permintaan dolar tahun ini dipastikan akan mengalami peningkatan yang signifikan. Sebab, sebagian besar waktu penundaan cicilan perusahaan swasta telah berakhir. Hanya yang disayangkan adalah kejadian tersebut gagal diidentifikasi dan diantisipasi oleh pemerintah pada saat ini.

Sama halnya dengan kegagalan pemerintah dalam mengantisipasi kenaikan permintaan dolar oleh Pertamina. Sejak awal tahun, harga minyak telah menunjukkan tren peningkatan yang cukup tinggi. Banyak kalangan, baik di dalam maupun luar negeri, memprediksi harga minyak dunia akan terus meningkat beberapa bulan ke depan. Paling tidak, indikasi harga minyak yang akan melonjak tajam telah mampu dibaca pada saat itu.

Namun pemerintah lagi-lagi gagal mengidentifikasi dan mengelola informasi tersebut menjadi sebuah kebijakan untuk mengantisipasi permintaan dolar yang tinggi dari Pertamina.

Sebulan terakhir, pemerintah baru memberikan reaksi dengan mewajibkan Pertamina untuk melakukan pembelian dolar kepada bank BUMN yang telah ditunjuk pemerintah yaitu Bank Mandiri, BNI dan BRI. Kebijakan tersebut bahkan ternyata kurang efektif karena kebutuhan dolar Pertamina yang relatif besar dan tak terduga.

Rupiah kembali liar!

Juga ketidakberdayaan menyelesaikan
Setelah pemerintah gagal mengantisipasi kenaikan permintaan dolar tahun ini, keadaan memang menjadi semakin rumit, tetapi bukan berarti tanpa solusi. Toh Indonesia masih memiliki cadangan devisa yang cukup besar sekitar USD 36 miliar yang tersimpan di Bank Indonesia dan terus meningkat seiring dengan surplus neraca perdagangan. Instrumen suku bunga pun bahkan masih cukup leluasa untuk digunakan, meski terpaksa harus mengorbankan sedikit sisi ekonomi lainnya.

Sialnya, meski kedua instrumen tersebut telah digunakan, pergerakan rupiah tetap tak terkendali. Padahal ongkos penggunaan instrumen tersebut amatlah mahal. Sampai saat ini, suku bunga telah dinaikkan lebih dari 100 basis poin dari sejak awal tahun. Cadangan devisa yang telah digunakan diperkirakan telah lebih dari USD 3 miliar, termasuk dari penambahan surplus neraca perdagangan.

Biang masalahnya adalah sejak awal tahun 2005, Indonesia sangat miskin berita positif di bidang ekonomi. Publik pertama kali sangat kecewa terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi setelah melewati masa kerja 100 hari. Padahal ekspektasi publik saat itu amat tinggi, paling tidak ada beberapa langkah shock therapy yang bisa dilakukan. Namun faktanya, alih-alih shock therapy, rakyat yang justru harus shock karena tim ekonomi pemerintah sangat minim inisiatif, kecuali konsolidasi, mempelajari kebijakan dan sibuk melakukan rapat.

Demikian juga dengan kekecewaan publik terhadap kegagalan dan keengganan tim ekonomi untuk meminta moratorium utang terkait dengan bencana tsunami Aceh, kekecewaan terhadap kenaikan harga BBM yang tinggi, kekhawatiran akibat terlambatnya pengajuan dan pembahasan APBN-P kepada DPR dan munculnya potensi conflict of interest di dalam tubuh pemerintahan.

Sebaliknya, persoalan demi persoalan justru kemudian bermunculan. Pemerintah mengalami kesulitan cashflow yang cukup kritis. Hal tersebut terindikasi oleh hampir tidak adanya anggaran pembangunan yang telah dibelanjakan, yang telah berdampak pada kontribusi negatif belanja pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi dua kuartal terakhir. Ditambah dengan fakta seretnya pembayaran kewajiban subsidi kepada Pertamina.

Lalu persoalan kelangkaan BBM, ancaman kekurangan pasokan listrik, kasus busung lapar di berbagai daerah, peningkatan pengangguran juga kemudian silih berganti mengisi headline di media cetak maupun elektronik. Parahnya lagi, setiap persoalan tersebut sangat lambat ditindaklanjuti dan sebagian besar malah belum terselesaikan sampai saat ini. Wajar jika akhirnya muncul ketidakpercayaan publik, yang bermuara kepada KETIDAKBERDAYAAN rupiah. Upaya ekstra Bank Indonesia dengan menaikkan suku bunga dan mengucurkan dolar ke pasar seakan menjadi sia-sia.

***

Persoalan kelebihan permintaan dolar sepertinya masih mungkin bisa diatasi dengan berbagai instrumen moneter yang ada, tetapi persoalan persepsi terhadap ketidakberdayaan pemerintah mengelola kebijakan ekonomi relatif sulit dicarikan obatnya. Kecuali, Presiden SBY mau lebih keras “mencambuk” para menterinya.

KEBERDAYAAN tidak hanya dinilai dari kemampuan menyelesaikan persoalan, tetapi juga kemampuan membaca dan mengantisipasinya. Faktanya saat ini, alih-alih mengantisipasi, menyelesaikan persoalan yang ada saja kurang mampu. Lalu apa bedanya pemerintah dengan Bajuri dan Ucup?

Tuesday 5 July 2005

Pengangguran v Kebijakan Ekonomi

*Jawapos, 6 Jul 2005 | Phone Nuryadin
BERITA buruk bidang ekonomi satu bulan terakhir susul menyusul antara kelangkaan BBM, kekurangan gizi, ketidakjelasan cashflow pemerintah, inflasi tinggi, kenaikan suku bunga, dan anjloknya rupiah.

Minggu lalu, BPS kembali menambah daftar tersebut dengan mengumumkan peningkatan angka pengangguran. Antara Agustus 2004 hingga Februari 2005, jumlah pengangguran terbuka meningkat sekitar 600 ribu orang atau 0,4 persen dari angkatan kerja.

Biasanya, berita peningkatan pengangguran di Indonesia kalah bersaing dengan berita melemahnya rupiah atau peningkatan beban anggaran. Reaksi pengambil kebijakan pun relatif biasa.

Paling tidak, selama ini belum pernah ada rapat khusus yang membahas isu pengangguran. Pengangguran hanya menarik untuk dijadikan materi yang dikemas dalam sebuah janji kampanye untuk meraih simpati masyarakat, tetapi tidak menjadi acuan dalam penyusunan dan pengambilan kebijakan.

Rendah, Kualitas Pertumbuhan
Terlepas dari perubahan metodologi dan berbagai kritik terhadap perhitungan data PDB oleh BPS, adalah ironi bahwa peningkatan pengangguran terjadi ketika ekonomi tumbuh hampir setara dengan target pertumbuhan ekonomi pemerintah SBY.

Pada kuartal IV 2004 dan kuartal I 2005, Indonesia berturut-turut mencatat pertumbuhan sekitar 6,7 persen dan 6,4 persen atau rata-rata 6,55 persen. Sementara itu, target pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY sekitar 6,6 persen per tahun.

Jika mengacu pada kecenderungan sebelum krisis, yang setiap satu persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap 400 ribu tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi enam bulan terakhir seharusnya mampu menyerap seluruh tambahan angkatan kerja baru. Bahkan, seharusnya terjadi penciptaan lapangan kerja tambahan sekitar 120 ribu orang per tahun.

Namun faktanya, pertumbuhan tinggi sekitar 6,55 persen selama dua kuartal terakhir ternyata tidak diikuti pengurangan pengangguran. Padahal, itu merupakan indikator ekonomi paling penting bagi sebuah bangsa.

Target kuantitatif pertumbuhan telah tercapai, tetapi belum ada tanda-tanda persoalan ekonomi, seperti kemiskinan, pengangguran, akan terselesaikan. Alih-alih mampu menyelesaikan persoalan, yang terjadi justru sebaliknya. Pengangguran semakin meningkat.

Fenomena tersebut memberikan gambaran bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi selama ini masih sangat rendah. Selama lima tahun terakhir misalnya, pada setiap satu persen pertumbuhan ekonomi, jumlah lapangan kerja yang tercipta hanya sekitar 250 ribu orang per tahun, lebih rendah dari kemampuan penciptaan lapangan kerja sebelum krisis yang mencapai 400 ribu orang.

Selain itu, fenomena tersebut juga memberi indikasi telah terjadi inequality dampak pertumbuhan terhadap kesejahteraan masyarakat. Ekonomi secara agregat memang meningkat, tetapi peningkatan tersebut tidak dialami seluruh masyarakat, melainkan hanya dialami sekelompok masyarakat tertentu.

Perlu Perubahan kebijakan
Rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi sebenarnya dapat diprediksi sejak awal. Pernyataan BPS bahwa pengangguran meningkat karena investasi belum menyentuh pada kegiatan padat karya (labor intensive) mungkin benar.

Tetapi, hal paling fundamental atas semua itu adalah arah kebijakan ekonomi yang masih menganut kebijakan pemerintahan sebelumnya, yang cenderung fokus pada upaya menstabilkan indikator makroekonomi, seperti inflasi, suku bunga, nilai tukar, dan mengurangi defisit anggaran. Terlepas dari fakta pemerintah saat ini gagal menstabilkan makroekonomi, arah kebijakan seperti itu menaifkan persoalan utama bangsa, yaitu pengangguran dan kemiskinan.

Di negara mana pun, stabilitas makroekonomi hanya merupakan "sasaran antara" dan bukan sasaran akhir. Pemerintah boleh saja berupaya menstabilkan makroekonomi, tetapi tidak lantas mengesampingkan kemiskinan dan pengangguran.

Kekeliruan arah kebijakan ekonomi sebenarnya telah dianut pemerintah sejak era Megawati, namun sempat diluruskan kembali oleh Presiden SBY dalam visi-misinya. Presiden SBY memberikan garis yang jelas pada upaya memberdayakan ekonomi pedesaan, pertanian, dan UKM. Bahkan, hingga saat ini garis kebijakan tersebut seringkali dipertegas oleh Presiden SBY dalam berbagai pernyataan di media.

Hanya sayang, visi misi tersebut tidak terimplementasikan dalam kebijakan dan tindakan tim ekonomi kabinet. Tim ekonomi malah jelas-jelas berencana meneruskan kebijakan ekonomi pemerintahan sebelumnya, yang kembali fokus pada stabilitas makroekonomi.

Konsentrasi pengambil kebijakan ekonomi pun cenderung pada upaya memoles indikator makroekonomi dan proyek infrastruktur yang relatif lebih bernuansa promosi kebijakan. Sebaliknya, jarang sekali ada pembahasan bagaimana mengoptimalkan anggaran untuk memberi stimulus kepada ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Bagaimana menggunakan indikator makroekonomi untuk membuka lapangan kerja lebih luas. Bagaimana membangun infrastruktur di pedesaan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin di pedesaan.

Sekaranglah saatnya bagi pemerintah untuk melakukan koreksi dan perubahan strategi kebijakan ekonomi, yang mengarah kepada perbaikan kuantitas sekaligus kualitas ekonomi. Jika tidak, bukan tidak mungkin ekonomi Indonesia 2009 hanya akan berprestasi di angka-angka, tetapi tidak pada kesejahteraan rakyat.

Monday 2 May 2005

Optimisme di tengah kecemasan

Bisnis Indonesia, 3 Mei 05 | Phone Nuryadin
PEMERINTAH manapun pasti ingin dikatakan berhasil mensejahterakan rakyatnya. Jika perlu, keluh kesah masyarakat harus ditekan sesedikit mungkin. Keluh kesah cenderung hanya menjadi pertanda pemerintah gagal. Bisa-bisa pamor pemerintah anjlok dan tidak dipercaya lagi memimpin bangsa.

Tidak aneh jika dalam setiap kesempatan berbicara ke publik, pemerintah sangat suka menebar optimisme. Misalnya optimisme perbaikan ekonomi. Tidak hanya dilakukan oleh para menteri, tetapi juga sangat getol dikampanyekan para staf menteri.

Optimisme memang sesuatu yang wajar dan malah sangat dibenarkan oleh prinsip self fulfilling prophecy. Pemerintah yang optimis dapat memberi keyakinan kepada rakyatnya. Rakyat pun akan ikut-ikutan merasa lebih nyaman berbelanja, para pemodal juga akan lebih terdorong untuk berinvestasi. Dampaknya, roda perekonomian bisa berputar lebih cepat.

Ada banyak indikator yang dapat digunakan untuk menebar optimisme ekonomi. Staf menteri yang paham makroekonomi tentu sudah hafal di luar kepala. Jumlahnya puluhan. Ada yang namanya leading indicators (indikator awal) seperti harga saham dan indeks keyakinan konsumen. Ada pula yang namanya coincident indicators (indikator yang bersamaan) seperti indeks produksi manufaktur, dan ada juga yang disebut lagging indicators (indikator pengikut) seperti posisi pinjaman industri dan komersial.

Yang mana yang dipilih, itu terserah siapa yang berkepentingan. Jika orangnya adalah staf menteri tadi, maka indikator yang dipilih pun pasti yang mendukung optimisme pemerintah. Pemilihannya pun cukup fleksibel, bisa berubah setiap waktu, bergantung perkembangan dari sejumlah indikator tersebut.

Di Indonesia, perubahan argumen seperti di atas benar terjadi. Dulu pada era pemerintahan Megawati, menteri ekonomi pemerintah sangat mengagungkan stabilitas finansial. Inflasi sangat rendah di bawah 6 persen, nilai tukar stabil pada level sekitar Rp 9.000/USD, Indeks Harga Saham terus mengalami peningkatan, serta suku bunga yang cukup rendah. Meskipun saat itu diakui bahwa perbaikan sektor riil masih jauh dari harapan, tetapi stabilitas finansial, katanya, merupakan sebuah landasan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Terlepas dari benar atau tidaknya pernyataan tersebut, tetapi yang jelas, keyakinan yang sama juga dianut oleh Tim Ekonomi SBY. Beberapa waktu setelah dilantik, Tim Ekonomi bertekad melanjutkan stabilitas finansial seperti yang dilakukan pemerintah Megawati. Dalam satu dua bulan pertama, Tim Ekonomi pun merasa optimis dan bangga dengan masih terkendalinya sejumlah indikator finansial. Indeks harga saham bahkan naik melebihi 1.000. Kesan yang muncul adalah Tim Ekonomi berhasil.

Celakanya, selama sebulan terakhir, sejumlah indikator finansial mulai berguguran. Indeks harga saham pada akhir Maret terjun bebas sebesar 88 poin, suku bunga SBI pun naik menjadi 7,7 persen, nilai tukar anjlok menjadi 9.700 per USD dan inflasi tahunan telah mencapai 8,8 persen. Suatu level yang tak terduga sebelumnya.

Berbagai gejolak tersebut dituding oleh beberapa kalangan sebagai kelemahan manajemen ekonomi pemerintah. Kritik pun dilontarkan pada kebijakan pemerintah seperti keraguan dalam penerbitan obligasi, ketidakmampuan melakukan persuasi APBN ke DPR dalam kasus BBM, keterlambatan pengucuran dana kompensasi, ketidakmampuan meredam inflasi, dll

Tapi Tim Ekonomi tidak mau kalah. Katanya, gejolak finansial merupakan dampak dari koreksi pasar global dan internasional yang terjadi belakangan ini. Padahal harus dicatat, melemahnya rupiah telah terjadi sejak awal pemerintahan. Pada saat pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu, nilai tukar rupiah sekitar Rp 9.075/USD, kemudian melemah secara persisten dan beberapa hari lalu telah mencapai Rp 9.744/USD. Persentase depresiasi tersebut bahkan merupakan rekor tertinggi dibandingkan dengan depresiasi rupiah pada dua pemerintahan sebelumnya.

Satu lagi, jika benar penyebabnya adalah faktor global, lalu mengapa nilai tukar negara-negara tetangga seperti Won Korea, Baht Thailand, dan Peso Philipina justru terus menguat? Seperti terlihat pada Grafik, rupiah selama enam bulan terakhir terus mengalami depresiasi, sementara mata uang Peso, Won dan Baht malah terus menguat. Tidak hanya itu, mata uang utama dunia seperti Yen dan Euro pun justru semakin menguat terhadap USD.



Kembali ke jenis indikator ekonomi, nilai tukar rupiah, harga saham dan suku bunga merupakan jenis leading indicators, yang merupakan indikasi awal dari pergerakan ekonomi. Pertanyaannya, apakah gejolak yang terjadi pada nilai tukar, harga saham dan suku bunga masih bisa membuat kita yakin bahwa ekonomi akan membaik?

Tim Ekonomi pemerintah pun cukup cerdik dengan merubah argumen agar tetap bisa optimis. Ketika indikator finansial tidak lagi dapat diandalkan, argumen kemudian dialihkan kepada indikator sektor riil. Optimisme akhirnya kembali ditebar dengan menyatakan pertumbuhan ekonomi masih di atas 5 persen, konsumsi listrik dan penjualan sepeda motor yang juga terus meningkat. Meski pengalihan argumen tersebut terkesan lucu, namun tetap sahih sepanjang didukung oleh landasan fakta yang kuat.

Untuk dipahami, indikator sektor riil selama ini tidak terlalu banyak dapat dijadikan senjata oleh pemerintah untuk optimis. Persoalannya, PDB (Produk Domestik Bruto) terus tumbuh pada level yang rendah di bawah 5 persen.

Beruntung beberapa bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan revisi metodologi perhitungan pertumbuhan ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi terkesan lebih tinggi. Perubahan metode tersebut telah meng-upgrade pertumbuhan ekonomi antara 0,3-0,6 persen.

Untuk tahun 2001 misalnya, dengan menggunakan metode lama, pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 3,5 persen, namun dengan menggunakan metode baru, pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 3,8 persen. Untuk tahun 2002, pertumbuhan ekonomi di-upgrade dari 3,7 menjadi 4,3 persen. Sedangkan untuk tahun 2003, pertumbuhan ekonomi di-upgrade dari 4,1 menjadi 4,5 persen.

Artinya, pertumbuhan ekonomi 5,1 persen pada tahun 2004 sebenarnya setara dengan pertumbuhan sekitar 4,5 sampai 4,8 persen dengan menggunakan metode lama. Sebuah angka yang tidak pantas dijadikan dasar untuk optimis karena pertumbuhan tersebut masih lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi pada tahun 2000 yang mencapai 4,9 persen.

Perubahan indikator sektor riil lainnya pun tidak seoptimis yang dinyatakan Tim Ekonomi. Peningkatan konsumsi listrik sejak dua tahun lalu, sebagian terjadi karena adanya perubahan komposisi penggunaan energi pada sektor industri, lantaran melonjaknya harga solar. Setelah koreksi dilakukan, peningkatan konsumsi listrik sebenarnya tidak terlalu dramatis.

Peningkatan barang modal juga memang telah terjadi. Tetapi harus dicatat, jenis barang yang dikategorikan sebagai barang modal tidak semuanya digunakan untuk keperluan produksi. Sebagian besar impor tersebut terdiri dari impor mesin dan suku cadang mobil serta motor, yang masih dikategorikan sebagai barang modal. Padahal jenis barang tersebut jelas merupakan barang konsumsi, sehingga tidak mengindikasikan terjadi peningkatan aktivitas produksi.

Demikian juga halnya dengan peningkatan penjualan sepeda motor yang memang naik sangat tinggi karena kemudahan kredit penjualan mobil dan motor. Peningkatan kredit mobil dan motor terjadi karena sektor corporate masih bermasalah sehingga kredit bergeser ke sektor consumer. Sejumlah praktisi perbankan malah mulai mengindikasikan akan terjadinya peningkatan tingkat kredit macet di sektor consumer.

Singkatnya, optimis boleh saja, tetapi tidak serta merta membuat kita ceroboh memilih argumen dan salah mengidentifikasi persoalan. Gejolak finansial yang terjadi belakangan harus diakui merupakan salah satu indikasi makroekonomi yang sedang bermasalah. Terlalu naïf untuk tidak mengatakan bahwa ada yang tidak beres dengan manajemen ekonomi kita.

Monday 21 February 2005

Bukan Pilihan Terakhir

*Jawapos, 21 Feb 05 | Phone Nuryadin
BELUM habis kekecewaan masyarakat karena kinerja 100 hari pemerintahan SBY-Kalla belum memperlihatkan hasil nyata, rakyat harus kembali shock dengan rencana kenaikan harga BBM sekitar 30-40 persen.

Rakyat pun harus bersiap-siap menanggung dampak atas kenaikan tersebut terhadap harga makanan, biaya transportasi, dan kebutuhan pokok lain. Saat ini, harga kebutuhan pokok bahkan telah beranjak naik antara 5-10 persen. Pertanyaannya, apakah kenaikan harga BBM yang sangat tinggi telah menjadi pilihan terakhir pemerintah untuk menyelamatkan anggaran?

Memang harus diakui, kenaikan harga minyak dunia telah meningkatkan beban anggaran, terutama membengkaknya beban subsidi BBM. Dengan perubahan asumsi harga minyak dari USD 24 menjadi USD 35 per barel, misalnya, beban subsidi akan meningkat sekitar Rp 44 triliun. Tetapi, langkah pemerintah yang mengalihkan sebagian besar beban tersebut kepada rakyat merupakan pilihan tidak adil dan tidak bertanggung jawab.

Ketidakadilan dalam kebijakan itu tampak jelas karena pada saat yang sama, pemerintah justru terus meningkatkan subsidi kepada bank-bank melalui program penjaminan dan rekapitalisasi. Beberapa waktu lalu, pemerintah memberikan subsidi sekitar Rp 3,39 triliun kepada tiga bank yang dilikuidasi, yaitu Bank Asiatic, Bank Dagang Bali, dan Bank Global. Subsidi sejenis mungkin akan terus meningkat pada tahun ini. Sebab, ada tiga atau empat bank lagi yang menghadapi masalah sama.

Munculnya pernyataan bahwa kenaikan harga BBM adalah pilihan terakhir dan satu-satunya jalan untuk mengurangi beban anggaran sama sekali tidak berdasar. Pernyataan tersebut justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk memecahkan masalah anggaran. Padahal, terdapat sejumlah alternatif kebijakan yang selama ini dapat dilakukan, yaitu:

Pertama, pengurangan subsidi bank rekap. Untuk APBN 2004, pengeluaran bunga obligasi bank rekap mencapai Rp 41 triliun, dua kali lebih besar daripada subsidi BBM yang hanya mencapai Rp 19 triliun.

Pemerintah SBY tidak pernah sama sekali membahas pengurangan subsidi tersebut. Padahal, pengeluaran bunga obligasi bank rekap hanya dinikmati segelintir konglomerat dan bankir nakal, yang sama sekali tidak pantas menerima subsidi dari negara. Jika pemerintah benar-benar memiliki komitmen untuk berpihak kepada rakyat, pengurangan pembayaran bunga obligasi bank rekap harus dijadikan prioritas utama sebelum merencanakan pengurangan subsidi BBM.

Kedua, mengefisienkan Pertamina. Bukan rahasia lagi, Pertamina merupakan gudangnya korupsi dan penyuapan. Salah satu penyalahgunaan yang paling nyata di tubuh Pertamina saat ini adalah penggunaan jasa trading companies atau broker untuk melakukan ekspor dan impor minyak. Pada era Orde Baru, trading companies itu dikuasai putra-putra Soeharto dan keluarga Bakrie, dengan trading margin mencapai 20-30 sen per barel.

Keberadaan broker-broker telah menyebabkan pemborosan sangat besar di tubuh Pertamina. Bayangkan jika trading margin yang mereka peroleh sebesar 25 sen per barel, ketidakefisienan Pertamina dalam melakukan ekspor dan impor minyak mencapai Rp 16,5 miliar per hari atau kurang lebih Rp 6 triliun per tahun.

Karena itu, Pertamina harus didesak untuk melakukan ekspor dan impor minyak secara langsung agar tidak dibebani lagi dengan berbagai jenis pengeluaran yang tidak perlu.

Inefisiensi lain di tubuh Pertamina adalah tingkat utilisasi kilang minyak yang masih sangat rendah pada kisaran 70-80 persen sehingga belum menghasilkan output yang optimal. Padahal kilang minyak di negara lain memiliki tingkat utilisasi hingga 95 persen. Demikian juga sistem maintenance dan loss management program di kilang-kilang tersebut perlu diperbaiki untuk menekan jumlah output yang terbuang.

Ketiga, mengoptimalkan tawaran moratorium utang. Sikap pemerintah yang cenderung menolak tawaran moratorium utang pantas disesalkan. Jika pemerintah melakukan upaya serius, Indonesia paling tidak akan memperoleh pengurangan beban pembayaran utang sekitar Rp 25 triliun per tahun.

Dengan berkurangnya beban utang, Indonesia akan memperoleh kelonggaran anggaran yang signifikan. Pemerintah pun tidak harus terburu-buru menaikkan harga BBM yang tinggi pada awal tahun ini. Usulan agar menunda kenaikan BBM sembari mempersiapkan program kompensasi yang efektif bahkan menjadi pilihan yang jauh lebih optimal.

Sayangnya, pemerintah telah menyia-nyiakan momentum moratorium dan justru merencanakan kenaikan harga BBM yang membebani rakyatnya.

***
Ketiga alternatif tersebut membuktikan bahwa kenaikan harga BBM bukanlah merupakan pilihan terakhir dan jalan satu-satunya untuk mengurangi beban anggaran. Meski dua alternatif pertama disadari merupakan pilihan yang berat karena menyangkut bisnis konglomerat dan bankir nakal. Tetapi dengan komitmen tinggi terhadap rakyat, alternatif itu harusnya dapat dilaksanakan. Bukankah selayaknya SBY lebih berpihak kepada rakyat daripada konglomerat dan bankir nakal?

Thursday 17 February 2005

Belajar Ekspor dari Negeri Cina

*| Phone Nuryadin

MENGAGUMKAN! Itulah kata yang pantas diucapkan untuk mengomentari pengumuman angka pertumbuhan ekonomi China bulan lalu. Meski pemerintah China telah berupaya keras mengerem pertumbuhan ekonominya, tetap saja geliat ekonomi mereka belum mampu dikendalikan. Masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, ekonomi China tahun 2004 diumumkan masih tumbuh tinggi 9,5 persen, jauh melebihi prediksi ekonom pada umumnya.

Dua puluh tahun lalu, China bukanlah apa-apa. Pendapatan per kapita-nya tidak lebih dari rata-rata dunia.

Tapi kini, China telah menjadi salah satu raksasa Asia yang menjadi pesaing utama Jepang. Kesejahteraan rakyatnya pun mengalami peningkatan yang luar biasa. Negara-negara besar seperti Jepang, Amerika dan beberapa negara Eropa bahkan sangat khawatir dengan fenomena tingginya pertumbuhan China. Bagaimana tidak, China saat ini telah menjadi salah satu pengendali perdagangan dunia ketiga terbesar. Produk-produk China mengalami ekspansi yang sangat cepat dan sedikit demi sedikit menekan pangsa pasar produk Amerika dan Jepang.

Tingginya pertumbuhan ekonomi China, yang dimotori ekspor, tentu bukanlah merupakan hasil kerja yang cepat dan mudah. Jauh sebelum semua itu dicapai, pemerintah China telah melakukan upaya keras untuk menyusun strategi dan kebijakan, dengan memanfaatkan keunggulan komparatif yang mereka miliki.

Upaya tersebut dimulai pada tahun 1979, dimana pemerintah China menentukan Special Economic Zones (SEZ’s) atau daerah khusus yang untuk mengembangkan industri yang berbasis ekspor. Di wilayah SEZ’s, pemerintah China memberikan kelonggaran regulasi dan stimulus pajak yang lebih ringan dibanding daerah lainnya.

Peraturan dan prosedur di bidang ekspor dan investasi juga disiapkan sejak dini untuk memudahkan aliran modal dan barang dari dan menuju SEZ’s. Selain itu, China juga memanfaatkan keunggulan komparatif mereka berupa murahnya biaya tenaga kerja (labor cost), dengan berupaya lebih fokus pada pengembangan industri yang labor intensive seperti tekstil dan produk pertanian.

Strategi lain yang juga paling krusial dalam pengembangan ekspor China adalah membina hubungan baik dengan Hongkong. Hubungan dengan Hongkong tidak hanya mampu meningkatkan aliran modal ke China, tetapi juga memudahkan China mengadopsi teknologi baru, mengaplikasikan manajemen yang lebih modern serta menjadi pintu utama China untuk mengkases pasar dunia.

Aliran Investasi pun akhirnya meningkat tajam.
Lalu kebijakan ekspor Indonesia?

Tuesday 18 January 2005

Skandal Paris Club

*Jawapos, 18 Jan 05 | Phone Nuryadin
SETELAH melakukan negosiasi di forum Paris Club, delegasi Indonesia akhirnya kembali dengan membawa hasil yang sangat mengecewakan. Indonesia hanya mendapatkan keringanan utang Rp 3 triliun untuk waktu tiga bulan. Hasil yang sangat minim tersebut merupakan kegagalan diplomasi ekonomi Indonesia.

Presiden SBY dan rakyat pantas kecewa karena Tim Ekonomi yang konon merupakan orang pilihan dan memiliki pengaruh di lingkungan internasional ternyata gagal dalam sebuah negosiasi yang relatif ringan. Dikatakan ringan karena inisiatif moratorium lahir dari negara kreditor, bukan Indonesia.

Ternyata juga tidak ada satu pun delegasi Indonesia yang hadir pada sesi kedua, sesi yang paling penting dalam pertemuan Paris Club. Mereka justru sibuk wara-wiri melakukan courtesy call kepada parlemen Prancis dan melupakan aspek teknis negosiasi.


Pertanyakan Tanggung Jawab
Dengan kegagalan diplomasi ekonomi tersebut, Presiden SBY seharusnya mempertanyakan tanggung jawab dan komitmen Tim Ekonomi akan keberpihakan mereka terhadap rakyat. Bagaimanapun, rakyat sebelumnya mengetahui besarnya simpati negara kreditor terhadap bencana yang menimpa Aceh dengan menawarkan moratorium kepada Indonesia.

Kanselir Jerman Gerhard Schroder, Presiden Prancis Jacques Chirac, PM Inggris Tony Blair, PM Kanada Paul Martin, bahkan Presiden Bush sangat mendukung ide moratorium kepada Indonesia. Tetapi, setelah negosiasi dilakukan, simpati dan dukungan tersebut sirna begitu saja. Selanjutnya, Tim Ekonomi gagal dan kembali dengan hasil yang sangat minim.

Namun, kegagalan delegasi Indonesia di Paris Club sebenarnya telah dapat diprediksi sejak awal. Ada tiga hal yang menjadi alasan kegagalan tersebut. Pertama, Tim Ekonomi tidak memiliki iktikad untuk memperoleh moratorium. Tawaran moratorium dari negara kreditor seharusnya ditindaklanjuti Tim Ekonomi dengan menyiapkan sejumlah amunisi dan strategi.

Moratorium utang merupakan salah satu alternatif yang optimal agar pemerintah lebih leluasa menggunakan anggaran untuk merehabilitasi Aceh. Sayang, tawaran moratorium ditanggapi Tim Ekonomi justru dengan menyebarkan sejumlah isu yang menakut-nakuti rakyat.

Disebarkan isu peringkat utang Indonesia akan turun dengan adanya moratorium. Isu tersebut sama sekali tidak berdasar dan justru dibantah sendiri oleh Standard&Poor’s dan Moody’s. Moratorium ditawarkan berkaitan dengan bencana Aceh atas alasan force majeure.

Disebarkan juga isu bahwa moratorium akan mengakibatkan Indonesia kembali terjerat dengan program IMF. Isu tersebut hanya dijadikan alat untuk mengelabui rakyat dan menakut-nakuti Presiden SBY yang memang menolak kembali hadirnya IMF di Indonesia.

Isu tersebut bahkan dibantah sendiri oleh IMF melalui managing director-nya yang baru, Rodrigo de Rato, yang secara tegas menyatakan bahwa moratorium tidak terkait dengan IMF.

Tim Ekonomi juga menyebarkan isu bahwa Jepang tidak menyetujui moratorium. Pernyataan tersebut dibatah langsung PM Junichiro Koizumi bahwa Jepang setuju memberikan moratorium utang kepada Indonesia. Beberapa negara G-7 dalam pertemuan di London bahkan mau menggunakan pengaruhnya untuk minta Paris Club melaksanakan moratorium.

Tim Ekonomi berupaya menutup-nutupi keengganan mereka untuk meminta moratorium dengan mengangkat isu yang menakut-nakuti rakyat. Teknik serupa pernah diperagakan oleh antek-IMF menjelang berakhirnya kontrak kerja sama Indonesia dengan IMF. Saat itu dikatakan, jika Indonesia keluar dari program IMF, rakyat akan jatuh miskin seperti Burma dan peringkat utang akan turun. Kenyataannya, setelah Indonesia benar-benar mengakhiri kerja sama dengan IMF, rakyat toh tidak jatuh miskin dan peringkat utang Indonesia pun malah meningkat menjadi B+.

Kedua, tidak ada persiapan dan strategi. Tetapi, untunglah, Presiden SBY akhirnya memerintah Tim Ekonomi untuk menindaklanjuti tawaran moratorium dan mempersiapkan negosiasi di Paris Club. Tetapi, sebelum ke Paris Club, Tim Ekonomi seharusnya melakukan perkiraan dampak kerusakan Aceh sebagai dasar menentukan besarnya moratorium utang.

Kenyataannya, delegasi Indonesia datang dengan tangan kosong, bahkan tidak hadir pada hari kedua negosiasi Paris Club. Sangat wajar jika pada akhirnya negosiasi gagal dan hanya diperoleh hasil yang sangat minim.

Selain itu, Tim Ekonomi seharusnya terlebih dahulu melakukan negosiasi bilateral yang sifatnya lebih strategis. Keberhasilan negosiasi bilateral akan sangat menentukan efektivitas negosiasi di forum Paris Club. Forum Paris Club hanya dihadiri oleh pejabat teknis sehingga fleksibilitas negosiasi menjadi sangat sempit dan kaku. Tanpa didahului oleh negosiasi di level strategis, sangat mustahil Indonesia mampu memperoleh keringanan utang yang signifikan.

Ketiga, delegasi Indonesia tidak memiliki kompetensi melakukan negosiasi. Di negara mana pun, negosiasi yang menyangkut pengurangan beban fiskal triliunan rupiah seharusnya dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian atau menteri keuangan. Tetapi, sangat lucu, negosiasi utang Indonesia dipimpin Menlu Hassan Wirayuda. Selain pemahaman tentang Aceh, negosiator membutuhkan pemahaman yang memadai tentang kondisi fiskal dan ekonomi Indonesia.

Bagaimana mungkin Menlu RI mampu meyakinkan kreditor bahwa Indonesia sangat membutuhkan moratorium dan debt relief, padahal dia kurang memahami aspek ekonomi maupun finansial?

Akibat tidak adanya kompetensi, muncul pernyataan lucu dari Hassan Wirayuda pada 13 Januari lalu. Beliau mengatakan: "Presiden Chirac menyebutkan kemungkinan reduksi utang dan bunga, namun sama sekali tidak menyebut debt relief." Penyataan itu amat lucu dan memalukan karena debt relief berarti adalah reduksi utang dan bunga.

Menko Perekonomian dan menteri keuangan seharusnya bertanggung jawab terhadap negosiasi utang. Ketidakhadiran kedua menteri tersebut di Paris menunjukkan Indonesia tidak serius mendapatkan moratorium utang. Padahal, Menteri Keuangan Prancis Herve Gaymard untuk yang pertama dalam sejarah hadir di gedung pertemuan Paris Club sebagai bentuk solidaritas terhadap bencana Aceh.

Sebaliknya, Menko Perekonomian Indonesia justru terkesan tidak memiliki empati terhadap rakyat Aceh dan hanya sibuk memperdagangkan proyek bencana Aceh kepada pengusaha di Singapura.