Pages

pendapatan nasional

Pendapatan Nasional Sejarah Konsep pendapatan nasional pertama kali dicetuskan oleh Sir William Petty dari Inggris yang berusaha menaksir pendapatan nasional negaranya(Inggris) pada tahun 1665

Featured 2

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 3

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 4

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 5

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Thursday 25 January 2007

Sudahlah, investasi memang turun koq

Data BKPM bahwa investasi turun sebesar 32 persen pada tahun 2006 rupanya sulit diterima oleh Menko Perekonomian Boediono.

’Data BKPM hanya sebagian. Coba cek data BPS yang lebih luas. Ya belum tentu ada penurunan. Coba dicek dulu, apa itu benar-benar turun investasinya. Saya koq belum yakin. Saya kira ada turn around pada triwulan II 2006, karena angka makronya demikian’, kata Boediono.

Adalah benar data BKPM hanya sebagian, dan data BPS lah yang memang lebih luas seperti yang pernah dituliskan di sini.

Namun keyakinan Boediono bahwa investasi di BPS tidak turun, berbeda dengan kenyataan. Perkiraan terjadinya turn around pun salah total.

Faktanya, sampai kuartal ketiga 2006, investasi bisnis di neraca PDB justru turun 16,4 persen. Pada kuartal pertama 2006, investasi bisnis tumbuh negatif 13 persen, untuk kemudian terus anjlok pada Kuartal kedua dan ketiga yang berturut-turut tumbuh negatif 15 persen dan 21 persen (belum ada turn around)

Seyogyanya Boediono menindaklanjuti lebih detail data tersebut, ketimbang mengira-ngira saja berdasarkan data makro seperti inflasi, rupiah dan suku bunga. Boediono mungkin lupa, pergerakan investasi tidak serta merta sejalan dengan perubahan indikator makro, karena persoalan investasi lebih banyak mikro ketimbang makronya.

Monday 15 January 2007

Asing malas menyalurkan kredit?

Bank Indonesia berencana membatasi kepemilikan asing di perbankan nasional dari 99% menjadi 51%, karena konon Bank Nasional yang dikendalikan oleh Asing terkesan ’malas’ menyalurkan kredit.

Memang ternyata itu hanya isu, karena di koran investor daily hari ini, BI tegas-tegas telah membantah memiliki rencana tentang pembatasan kepemilikan asing. Menurut Gubernur BI, jika ada rencana tersebut pasti akan diumumkan ke publik.

Tapi yang menarik, benarkah Bank yang dikendalikan asing malas menyalurkan kredit?

Ada enam Bank yang saat ini dikendalikan (kepemilikan di atas 51%) oleh Asing yaitu Lippo, NISP, Danamon, BII, Niaga dan Buana Indonesia. Jika dilihat pertumbuhan kredit mereka selama 9 bulan pertama 2006, ternyata tiga bank mencatat pertumbuhan kredit yang lebih rendah dari rata-rata nasional. Tetapi tiga lainnya ternyata lebih tinggi.

Grafik. Pertumbuhan Posisi Kredit Bank, 9 bulan pertama 2006


Dengan distribusi seperti ini, nampaknya sulit untuk menyimpulkan asing 'malas' menyalurkan kredit.

Tuesday 9 January 2007

Yang tak terungkap dari debt switch

Hari ini pemerintah kembali melakukan penukaran obligasi (debt switch). Hasilnya, pada tahun ini pemerintah akan menghemat cicilan bunga utang Rp 400 miliar dan penghematan tersebut akan semakin besar sampai 2011.

Namun ada sisi lain yang tak diungkap yaitu yield obligasi penukar (destination) ternyata lebih tinggi dibanding obligasi asal (source). Ini artinya beban bersih APBN sebenarnya meningkat dan pastinya itu merupakan hal buruk.

Entahlah, selama ini para pejabat terkesan menghindar ketika berbicara mengenai yield. Mereka justru lebih suka mengomentari penawaran obligasi yang oversubscribe sebagai indikasi persepsi investor yang membaik. Padahal penawaran yang oversubscribe bukan sesuatu yang aneh terjadi ketika yield yang ditawarkan memang lebih tinggi. Investor mana sih yang tidak mau ditawarin uang lebih?

Kembali ke yield. Mengapa yield obligasi penukar bisa lebih tinggi, padahal sering dikatakan bahwa kondisi ekonomi dan politik Indonesia cenderung semakin stabil? Hanya ada dua kemungkinan penyebab yaitu: Resiko yang sebenarnya semakin tinggi di mata investor sehingga harus dikompensasi dengan yield yang lebih besar. Jika bukan, hampir dapat dipastikan ada pejabat Depkeu yang main mata dengan investor.