Pages

pendapatan nasional

Pendapatan Nasional Sejarah Konsep pendapatan nasional pertama kali dicetuskan oleh Sir William Petty dari Inggris yang berusaha menaksir pendapatan nasional negaranya(Inggris) pada tahun 1665

Featured 2

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 3

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 4

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 5

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Tuesday 18 January 2005

Skandal Paris Club

*Jawapos, 18 Jan 05 | Phone Nuryadin
SETELAH melakukan negosiasi di forum Paris Club, delegasi Indonesia akhirnya kembali dengan membawa hasil yang sangat mengecewakan. Indonesia hanya mendapatkan keringanan utang Rp 3 triliun untuk waktu tiga bulan. Hasil yang sangat minim tersebut merupakan kegagalan diplomasi ekonomi Indonesia.

Presiden SBY dan rakyat pantas kecewa karena Tim Ekonomi yang konon merupakan orang pilihan dan memiliki pengaruh di lingkungan internasional ternyata gagal dalam sebuah negosiasi yang relatif ringan. Dikatakan ringan karena inisiatif moratorium lahir dari negara kreditor, bukan Indonesia.

Ternyata juga tidak ada satu pun delegasi Indonesia yang hadir pada sesi kedua, sesi yang paling penting dalam pertemuan Paris Club. Mereka justru sibuk wara-wiri melakukan courtesy call kepada parlemen Prancis dan melupakan aspek teknis negosiasi.


Pertanyakan Tanggung Jawab
Dengan kegagalan diplomasi ekonomi tersebut, Presiden SBY seharusnya mempertanyakan tanggung jawab dan komitmen Tim Ekonomi akan keberpihakan mereka terhadap rakyat. Bagaimanapun, rakyat sebelumnya mengetahui besarnya simpati negara kreditor terhadap bencana yang menimpa Aceh dengan menawarkan moratorium kepada Indonesia.

Kanselir Jerman Gerhard Schroder, Presiden Prancis Jacques Chirac, PM Inggris Tony Blair, PM Kanada Paul Martin, bahkan Presiden Bush sangat mendukung ide moratorium kepada Indonesia. Tetapi, setelah negosiasi dilakukan, simpati dan dukungan tersebut sirna begitu saja. Selanjutnya, Tim Ekonomi gagal dan kembali dengan hasil yang sangat minim.

Namun, kegagalan delegasi Indonesia di Paris Club sebenarnya telah dapat diprediksi sejak awal. Ada tiga hal yang menjadi alasan kegagalan tersebut. Pertama, Tim Ekonomi tidak memiliki iktikad untuk memperoleh moratorium. Tawaran moratorium dari negara kreditor seharusnya ditindaklanjuti Tim Ekonomi dengan menyiapkan sejumlah amunisi dan strategi.

Moratorium utang merupakan salah satu alternatif yang optimal agar pemerintah lebih leluasa menggunakan anggaran untuk merehabilitasi Aceh. Sayang, tawaran moratorium ditanggapi Tim Ekonomi justru dengan menyebarkan sejumlah isu yang menakut-nakuti rakyat.

Disebarkan isu peringkat utang Indonesia akan turun dengan adanya moratorium. Isu tersebut sama sekali tidak berdasar dan justru dibantah sendiri oleh Standard&Poor’s dan Moody’s. Moratorium ditawarkan berkaitan dengan bencana Aceh atas alasan force majeure.

Disebarkan juga isu bahwa moratorium akan mengakibatkan Indonesia kembali terjerat dengan program IMF. Isu tersebut hanya dijadikan alat untuk mengelabui rakyat dan menakut-nakuti Presiden SBY yang memang menolak kembali hadirnya IMF di Indonesia.

Isu tersebut bahkan dibantah sendiri oleh IMF melalui managing director-nya yang baru, Rodrigo de Rato, yang secara tegas menyatakan bahwa moratorium tidak terkait dengan IMF.

Tim Ekonomi juga menyebarkan isu bahwa Jepang tidak menyetujui moratorium. Pernyataan tersebut dibatah langsung PM Junichiro Koizumi bahwa Jepang setuju memberikan moratorium utang kepada Indonesia. Beberapa negara G-7 dalam pertemuan di London bahkan mau menggunakan pengaruhnya untuk minta Paris Club melaksanakan moratorium.

Tim Ekonomi berupaya menutup-nutupi keengganan mereka untuk meminta moratorium dengan mengangkat isu yang menakut-nakuti rakyat. Teknik serupa pernah diperagakan oleh antek-IMF menjelang berakhirnya kontrak kerja sama Indonesia dengan IMF. Saat itu dikatakan, jika Indonesia keluar dari program IMF, rakyat akan jatuh miskin seperti Burma dan peringkat utang akan turun. Kenyataannya, setelah Indonesia benar-benar mengakhiri kerja sama dengan IMF, rakyat toh tidak jatuh miskin dan peringkat utang Indonesia pun malah meningkat menjadi B+.

Kedua, tidak ada persiapan dan strategi. Tetapi, untunglah, Presiden SBY akhirnya memerintah Tim Ekonomi untuk menindaklanjuti tawaran moratorium dan mempersiapkan negosiasi di Paris Club. Tetapi, sebelum ke Paris Club, Tim Ekonomi seharusnya melakukan perkiraan dampak kerusakan Aceh sebagai dasar menentukan besarnya moratorium utang.

Kenyataannya, delegasi Indonesia datang dengan tangan kosong, bahkan tidak hadir pada hari kedua negosiasi Paris Club. Sangat wajar jika pada akhirnya negosiasi gagal dan hanya diperoleh hasil yang sangat minim.

Selain itu, Tim Ekonomi seharusnya terlebih dahulu melakukan negosiasi bilateral yang sifatnya lebih strategis. Keberhasilan negosiasi bilateral akan sangat menentukan efektivitas negosiasi di forum Paris Club. Forum Paris Club hanya dihadiri oleh pejabat teknis sehingga fleksibilitas negosiasi menjadi sangat sempit dan kaku. Tanpa didahului oleh negosiasi di level strategis, sangat mustahil Indonesia mampu memperoleh keringanan utang yang signifikan.

Ketiga, delegasi Indonesia tidak memiliki kompetensi melakukan negosiasi. Di negara mana pun, negosiasi yang menyangkut pengurangan beban fiskal triliunan rupiah seharusnya dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian atau menteri keuangan. Tetapi, sangat lucu, negosiasi utang Indonesia dipimpin Menlu Hassan Wirayuda. Selain pemahaman tentang Aceh, negosiator membutuhkan pemahaman yang memadai tentang kondisi fiskal dan ekonomi Indonesia.

Bagaimana mungkin Menlu RI mampu meyakinkan kreditor bahwa Indonesia sangat membutuhkan moratorium dan debt relief, padahal dia kurang memahami aspek ekonomi maupun finansial?

Akibat tidak adanya kompetensi, muncul pernyataan lucu dari Hassan Wirayuda pada 13 Januari lalu. Beliau mengatakan: "Presiden Chirac menyebutkan kemungkinan reduksi utang dan bunga, namun sama sekali tidak menyebut debt relief." Penyataan itu amat lucu dan memalukan karena debt relief berarti adalah reduksi utang dan bunga.

Menko Perekonomian dan menteri keuangan seharusnya bertanggung jawab terhadap negosiasi utang. Ketidakhadiran kedua menteri tersebut di Paris menunjukkan Indonesia tidak serius mendapatkan moratorium utang. Padahal, Menteri Keuangan Prancis Herve Gaymard untuk yang pertama dalam sejarah hadir di gedung pertemuan Paris Club sebagai bentuk solidaritas terhadap bencana Aceh.

Sebaliknya, Menko Perekonomian Indonesia justru terkesan tidak memiliki empati terhadap rakyat Aceh dan hanya sibuk memperdagangkan proyek bencana Aceh kepada pengusaha di Singapura.